Pramoedya Ananta Toer, dalam mahakaryanya Arus Balik, menghadirkan sebuah panorama sejarah yang tidak hanya sekadar catatan peristiwa masa lalu, tetapi juga refleksi mendalam atas dinamika kekuasaan dan perubahan sosial yang terus berulang di Nusantara. Mengangkat latar awal abad XVI, novel ini menggambarkan periode transisi dari kejayaan Majapahit yang kian memudar ke bangkitnya Kesultanan Demak, seraya menghadapi ancaman kedatangan Portugis.
Pusat dari narasi novel ini adalah Wiranggaleng, pemuda desa yang turut serta dalam invasi Malaka di bawah pimpinan Pati Unus. Pram setidaknya mengilustrasikan bagaimana rakyat biasa terseret dalam pusaran konflik besar yang melibatkan berbagai kepentingan global. Pram setidaknya ingin menegaskan bahwa kaum yang hina dan sering disepelekan itu punya andil untuk tanah yang merdeka di beragam zaman, karena tidak tertulis dalam sejarah.
Nusantara pada masa itu merupakan kekuatan maritim besar dengan armada laut yang mendunia. Arus perdagangan, budaya, dan ideologi bergerak dari selatan ke utara, membawa kemakmuran dan pengaruh ke berbagai wilayah di "atas angin". Namun, arus balik terjadi. Sejarah mencatat perubahan arus kekuasaan, dari dominasi Nusantara terhadap jalur perniagaan maritim menjadi ketergantungan terhadap kekuatan asing yang datang dari utara.
Perpecahan internal, perebutan kekuasaan, serta masuknya bangsa asing ke dalam struktur politik dan ekonomi Nusantara menjadi tema utama yang terus bergema dalam sejarah panjang Indonesia. Terdapat tiga konflik yang menonjol dalam cerita novel ini, yang masing-masing erat kaitannya dengan situasi yang terjadi saat itu. Konflik-kontlik itupun diwakili masing-masing tokoh di dalam cerita, sehingga setiap tokoh dapat mewakili salah satu konflik di dalamnya.
Wiranggaleng dikisahkan punya pacar cantik, juara tari, bernama Idayu. Kedua anak muda dari Desa Awis Krambil itu terlempar ke tengah hiruk-pikuk kekuasaan. Adipati Tuban, Wilwatikta, mengangkat Galeng sebagai syahbandar muda Tuban. Galeng dan Idayu menetap di Tuban, padahal mereka cuma bercita-cita punya huma di desa.
Wilayah pesisir utara Jawa, khususnya Tuban, menjadi panggung utama dalam novel ini. Kehidupan pesisir yang keras, dinamis, dan penuh gejolak akibat pertemuan berbagai kebudayaan menciptakan karakter-karakter kuat seperti Wiranggaleng dan Idayu. Masyarakat pesisir harus menghadapi bukan hanya tantangan alam dan persaingan dagang, tetapi juga benturan ideologi serta kepentingan asing yang berusaha menguasai urat nadi Nusantara. Watak keras dan keberanian mereka adalah cerminan dari realitas geopolitik yang terus berlangsung hingga hari ini.
Dulu, Tuban adalah taklukan Majapahit. Namun setelah Majapahit runtuh akibat intrik dan perang saudara, Tuban merdeka, bahkan meluaskan wilayah sampai Jepara. Konon, Wilwatikta, ikut bersekongkol menjatuhkan Majapahit. Dia keturunan Ranggalawe, gubernur Tuban yang memberontak pada Majapahit. Majapahit pun berganti pada munculnya Kesultanan Demak yang dipimpin Raden Fatah.
Pada 1511 terjadi perubahan arus modal dan perniagaan di Nusantara. Malaka, bandar besar di Asia, jatuh ke tangan Portugis. Malaka adalah wilayah strategis di Semenanjung yang pernah dikuasai dua kerajaan besar, Sriwijaya dan Majapahit. Kejatuhan Malaka bukan sekadar hilangnya sebuah wilayah, tapi menandai perubahan arus perdagangan dunia di Asia.
Dua tahun setelah Malaka jatuh, Adipati Unus, putra Raden Fatah dari Demak, mencoba merebut bandar tersebut dengan mempersatukan Nusantara. Wilwatikta menolak membantu, karena Adipati Unus sebelumnya telah merampas Jepara dan menjadikan kota pelabuhan itu wilayah taklukan Demak. Adipati Tuban sengaja memperlambat kiriman pasukannya. Ketika gabungan pasukan Tuban-Banten datang, dua puluh ribu tentara laut Aceh-Jambi-Riau-Demak-Jepara yang dipimpin Adipati Unus telah kalah dihajar meriam Portugis di perairan Semenanjung itu.
Wiranggaleng, kepala gugusan Tuban, tak habis pikir. Penyebab kekalahan itu masih samar baginya. Namun, lama-kelamaan dia mengerti. Konflik-konflik internal di Nusantara telah memecah-belah kekuatan mereka. Aceh disebutkan ingin memiliki Malaka untuk diri-sendiri. Tuban mengingkari janji lantaran kasus Jepara, terlambat lima hari sampai di Semenanjung. Kekalahan Adipati Unus justru menerbitkan rasa kagum Wiranggaleng, pemuda desa yang lugu, buta politik, yang semata-mata orang suruhan penguasa Tuban.
Melalui Arus Balik, Pramoedya tidak hanya menghadirkan fiksi sejarah, tetapi juga kritik terhadap bagaimana bangsa ini terus mengalami siklus ketergantungan dan dominasi asing. Jika pada abad XVI arus balik terjadi karena intervensi kolonialisme Eropa, kini kita menyaksikan perebutan sumber daya dan pengaruh dalam bentuk investasi serta kepentingan ekonomi global. Nusantara, dengan segala potensinya, kembali menjadi rebutan di antara kekuatan-kekuatan besar dunia.Â
Pertanyaannya, Â akankah kita terus terjebak dalam arus balik sejarah, ataukah kita mampu menciptakan gelombang baru yang membawa bangsa ini ke arah kemandirian dan kejayaan yang sejati? Sejarah adalah arus yang terus bergerak, tetapi kitalah yang menentukan apakah akan hanyut terbawa atau berani menciptakan gelombang perubahan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI