Pendahuluan
Di era digital, mahasiswa hidup dalam arus informasi yang nyaris tanpa batas. Hampir setiap hari, kita disuguhi berbagai konten dari media sosial, berita daring, hingga platform hiburan global. Arus ini membawa dampak positif berupa akses pengetahuan yang luas, tetapi juga menghadirkan tantangan serius: penyebaran hoaks, intoleransi, bahkan lunturnya identitas kebangsaan. Dalam situasi seperti ini, Pendidikan Pancasila di perguruan tinggi hadir bukan hanya sebagai mata kuliah wajib, melainkan sebagai kebutuhan mendasar bagi mahasiswa agar tetap memiliki arah dan pijakan nilai.
Sebagai mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI), saya melihat bahwa Pendidikan Pancasila tidak sekadar bicara tentang teori, tetapi tentang bagaimana nilai-nilainya dihidupkan dalam kehidupan sehari-hari, termasuk di ruang digital. Pancasila adalah fondasi moral sekaligus panduan etika yang dapat menuntun mahasiswa dalam bersikap kritis, adil, dan manusiawi ketika berhadapan dengan derasnya arus globalisasi.
Pancasila sebagai Kompas Moral di Era Digital
Era digital menciptakan ruang publik baru, yaitu media sosial. Di ruang ini, setiap orang bisa menjadi produsen sekaligus konsumen informasi. Namun, kebebasan ini seringkali disalahgunakan—mulai dari ujaran kebencian, polarisasi politik, hingga konten provokatif yang menyinggung perbedaan. Tanpa kesadaran nilai, mahasiswa mudah terjebak dalam "perang wacana" yang tidak sehat.
Di sinilah Pancasila berperan sebagai kompas moral. Nilai kemanusiaan mendorong kita untuk menghargai orang lain meski berbeda pandangan, nilai persatuan mengingatkan bahwa keberagaman adalah kekuatan bangsa, sementara prinsip musyawarah memberi teladan bagaimana seharusnya berdiskusi di ruang digital: saling mendengar, bukan sekadar menyerang.
Relevansi untuk Mahasiswa PBSI
Bagi mahasiswa PBSI, urgensi Pendidikan Pancasila bahkan lebih terasa. Sebagai calon pendidik bahasa, kami tidak hanya bertugas mengajarkan tata bahasa atau teori sastra, tetapi juga membangun karakter siswa melalui bahasa. Bahasa bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga medium nilai. Cara kita memilih kata, menyusun kalimat, hingga menyampaikan pendapat bisa mencerminkan apakah kita menjunjung nilai Pancasila atau tidak.
Contoh sederhana, ketika kita berdiskusi di forum daring, penggunaan bahasa yang santun dan menghargai pendapat orang lain adalah implementasi langsung dari sila kedua: "Kemanusiaan yang adil dan beradab". Begitu pula, ketika kita menulis karya ilmiah atau opini di media digital, kita dituntut untuk jujur, kritis, dan bertanggung jawab—suatu praktik nyata dari sila kelima: "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia".
Pancasila dan Tantangan Literasi Digital
Literasi digital kini menjadi kompetensi yang mutlak dimiliki mahasiswa. Namun, literasi digital tidak cukup hanya soal kemampuan mengakses dan menyaring informasi, melainkan juga bagaimana menggunakan informasi itu secara etis. Di sini, Pendidikan Pancasila dapat memperkuat dimensi etis literasi digital.
Misalnya, saat menemukan informasi yang viral, mahasiswa tidak seharusnya langsung menyebarkannya tanpa klarifikasi. Sikap kritis dalam menimbang kebenaran adalah wujud tanggung jawab intelektual, sementara sikap hati-hati agar tidak menyinggung kelompok tertentu merupakan implementasi nilai kemanusiaan. Dengan demikian, Pancasila menjelma menjadi filter moral dalam setiap aktivitas digital mahasiswa.
Pancasila Sebagai Identitas di Tengah Globalisasi
Globalisasi seringkali menghadirkan dilema identitas. Kita bisa mengakses budaya asing dengan mudah, bahkan kadang mengaguminya tanpa sadar mengabaikan budaya sendiri. Bagi mahasiswa PBSI, yang sehari-hari belajar tentang bahasa dan sastra Indonesia, menjaga identitas menjadi tugas moral sekaligus intelektual.
Pancasila membantu kita menegaskan bahwa keterbukaan terhadap dunia tidak berarti kehilangan jati diri. Sebaliknya, dengan Pancasila, mahasiswa bisa tetap terbuka pada perkembangan global, tetapi tetap berakar pada nilai kebangsaan. Inilah keseimbangan yang sangat penting di era digital: menjadi global tanpa kehilangan lokalitas.
Penutup
Pendidikan Pancasila di perguruan tinggi tidak boleh dipandang sebagai formalitas belaka. Di tengah derasnya arus digital, ia justru menjadi tameng sekaligus kompas agar mahasiswa tidak kehilangan arah. Sebagai mahasiswa PBSI, saya meyakini bahwa mengajarkan bahasa Indonesia bukan hanya soal mengajarkan struktur kalimat, melainkan juga soal menanamkan nilai melalui bahasa. Dan nilai itu berakar pada Pancasila.
Era digital bisa saja mengaburkan batas identitas, tetapi dengan Pancasila, mahasiswa memiliki pijakan yang kokoh untuk tetap berdiri tegak sebagai manusia Indonesia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI