Mohon tunggu...
Muhammad Ferry
Muhammad Ferry Mohon Tunggu... Penulis - Sang jurnalistik

Lahir tanggal 19 oktober 1999

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Keterkaitan Keterikatan Karya Sang Kusang Alias Ferry

3 Juli 2020   07:00 Diperbarui: 3 Juli 2020   07:55 358
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Design buatan sendiri

Pagi yang Pilu

Terbitmu di pagi hari
Hujan sirna tanpa jejak kaki
Asing bagiku ketika kamu hendak pergi
Dikala rintik ini tak kunjung berhenti
Deras angin menuntunmu pergi
Dari tempat tak berpenghuni
Andai kala itu aku sendiri
Tak sudi aku melihatmu seperti ini
Karena aku tak cukup handal tuk berlari
Aku senang menetap pada hati yang sunyi
Aku senang bersamamu kali ini
Terbenammu menutup hati yang sepi

Hidup Tak Selamanya Muda

Waktu muda akan ada habisnya
Terekam jelas pada mata kita
Setiap waktu terlewati tetapi momen akan selalu ada
Momen pada saat berkumpul bersama
Canda tawa menghiasi memori diantara kita
Akankah saat ku menua
Momen itu akan tetap ada
Kembali bersama
Memanggil kembali ingatan kita
Yang telah usang termakan usia

Rumah Tak Bertuan

Ruangan hampa tanpa adanya seorang pun di dalamnya
Hanya ada jejak jejak yang ditinggalkan olehnya
Oleh orang orang yang mengisi ruangan itu
Yang datang silih bergantian
Tak hanya itu
Pertemuan
Menemukan
Kenyamanan
Tapi ada suatu ketidaknyamanan
Ketika perpisahan
Datang menyadarkan
Semua situasi yang ada
Satu hal yang bisa dilakukan
Adalah menerima bahwa perpisahan
Akan selalu ada ketika pertemuan
Ketidaksengajaan antara dua hati

Intuisi

Intuisi bagaikan pedang bermata dua
Satu sisi terkadang benar
Sisi lainnya terkadang salah
Entah mengapa tebakkannya selalu benar
Dengan apa yang dipikirkan
Seorang teman pernah berkata
Kalau kamu menuruti intuisi
Nantinya kamu akan dimanfaatkan
Emang benar begitu?

Tetapi..
Kalau dipikir lagi
Pikiran kita suka menolak dengan isi hati
Membuat kita berpikir lebih keras
Seperti halnya kita memikirkan sebuah hitungan yang rumit
Andai intuisi
Bisa menjelma seperti manusia
Berbicara tanpa adanya kekangan dari pikiran kita
Pikiran kita yang menuntut intuisi harus selaras dengannya
Belum lagi
Kalau Intuisi kita tak sama dengan dia
Lelah juga ya jadi orang yang nurutin mulu intuisi
Yang selalu bertengkar
Dengan pikiran
Apalagi ketika kita mulai mengkhawatirkan dia

Menutup Malam

Malam telah tiba

Cahaya senja

Tak lagi terlihat di alam raya

Seperti dia.. 

Tak lagi tampak sebagai dia yang dulu

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun