"Berpikir positif sering dianggap sebagai kunci kebahagiaan dan kesuksesan."
Banyak motivator, buku pengembangan diri, hingga media sosial mendorong kita untuk selalu melihat sisi terang dari setiap situasi.
Tak jarang, ungkapan seperti “jangan menyerah,” “lihat sisi baiknya,” atau “semua akan baik-baik saja” menjadi semacam mantra yang terus diulang.
Namun, di balik niat baik untuk tetap optimis, ada sisi lain yang jarang dibicarakan, ketika dorongan untuk selalu positif justru menekan perasaan negatif yang wajar dan manusiawi.
Inilah yang disebut dengan toxic positivity sebuah bentuk pemaksaan kebahagiaan yang bisa berujung pada penyangkalan emosi dan isolasi mental.
Apa Itu Toxic Positivity?
Toxic positivity adalah kondisi ketika seseorang memaksakan pikiran dan perasaan positif sambil menolak atau menekan emosi negatif, baik terhadap dirinya sendiri maupun orang lain.
Dalam situasi ini, segala bentuk kesedihan, kekecewaan, kemarahan, atau rasa sakit dianggap sebagai sesuatu yang tidak layak dirasakan atau dibicarakan. Padahal, emosi negatif merupakan bagian alami dari pengalaman manusia yang justru penting untuk diakui dan diproses.
Contoh sederhananya, ketika seseorang curhat tentang masalah berat yang sedang ia hadapi, lalu dibalas dengan ucapan seperti “paling nggak kamu masih hidup,” atau “jangan terlalu baper, semua pasti ada hikmahnya.”
Meskipun terdengar baik, respons seperti ini justru mengabaikan realitas emosional yang sedang dirasakan oleh lawan bicara.