Mengapa Berbahaya?
Karena toxic positivity membuat seseorang menolak realitas emosional yang penting untuk dihadapi.
Ketika perasaan negatif ditekan secara terus-menerus, hal itu tidak membuatnya hilang, melainkan justru menumpuk di bawah permukaan.
Lama-kelamaan, emosi yang tidak tersalurkan ini bisa meledak dalam bentuk stres, kecemasan, bahkan depresi. Alih-alih sembuh, seseorang justru terjebak dalam ilusi bahwa mereka harus terus terlihat kuat dan bahagia, meski sedang hancur di dalam.
Toxic positivity juga bisa merusak hubungan sosial. Ketika seseorang selalu menanggapi kesedihan atau keluhan orang lain dengan komentar “positif”, itu sebenarnya bukan bentuk dukungan, melainkan penyangkalan.
Orang yang merasa tidak didengar dan tidak divalidasi akhirnya menarik diri karena takut dianggap terlalu emosional atau lemah. Dalam jangka panjang, hal ini menciptakan jarak emosional yang mengikis empati dan keintiman.
Contoh Kalimat yang Perlu Diwaspadai
Beberapa kalimat yang tampaknya positif tetapi bisa menjadi bentuk toxic positivity sering kali terdengar familiar dalam kehidupan sehari-hari.
Kalimat-kalimat ini diucapkan dengan maksud baik, untuk menyemangati atau menenangkan, namun justru bisa membuat seseorang merasa tidak didengarkan atau bahkan bersalah karena memiliki perasaan negatif.
Contohnya seperti, “Kamu harus tetap bersyukur,” yang bisa membuat seseorang merasa tidak berhak untuk sedih, padahal rasa syukur dan kesedihan bisa hadir bersamaan.
Atau “Jangan terlalu dipikirkan, pasti ada hikmahnya,” yang terdengar bijak, namun sering kali mengabaikan proses emosional yang sedang berlangsung.