Kalimat seperti “Banyak orang yang lebih menderita daripada kamu” juga memberi kesan bahwa penderitaan seseorang tidak cukup penting, karena ada yang lebih buruk.
Ungkapan lainnya seperti “Jangan nangis terus, nanti dibilang lemah” atau “Tetap semangat, ya, jangan terlihat sedih” secara tidak langsung menanamkan anggapan bahwa emosi negatif adalah sesuatu yang memalukan dan harus disembunyikan.
Bagaimana Menanggapi dengan Sehat?
Langkah pertama adalah memberi ruang bagi emosi untuk hadir tanpa dihakimi. Ketika seseorang bercerita tentang kesulitannya, dengarkan dengan empati, bukan buru-buru memberi solusi atau mengganti suasana dengan kata-kata penyemangat.
Kalimat sederhana seperti “Aku mengerti itu pasti berat buatmu” atau “Terima kasih sudah mau cerita, aku di sini untuk mendengarkan” jauh lebih menenangkan daripada ungkapan klise yang memaksa mereka untuk segera merasa lebih baik.
Selanjutnya, penting untuk memahami bahwa semua emosi positif maupun negatif memiliki fungsi. Sedih membantu kita mengenali kehilangan, marah menandai bahwa ada batas yang dilanggar, takut melindungi kita dari bahaya.
Menyadari bahwa emosi-emosi itu sah akan membuat kita lebih terhubung dengan diri sendiri dan orang lain. Pada diri sendiri, bersikap sehat artinya memberi izin untuk tidak baik-baik saja.
Tak perlu memaksakan diri tersenyum ketika sedang lelah atau berpura-pura kuat ketika hati rapuh. Berlatih mindfulness, journaling, atau berbicara dengan orang yang dipercaya bisa membantu memproses emosi dengan lebih jujur.
Kesimpulan
Berpikir positif tentu baik, tetapi harus dibarengi dengan keberanian untuk menghadapi emosi yang sebenarnya.
Mengabaikan perasaan negatif demi sekadar terlihat kuat atau bahagia justru dapat menghambat proses penyembuhan dan pertumbuhan pribadi.