Mohon tunggu...
Muhammad Dahron
Muhammad Dahron Mohon Tunggu... Penulis

Saya menjadi penulis sejak tahun 2019, pernah bekerja sebagai freelancer penulis artikel di berbagai platform online, saya lulusan S1 Teknik Informatika di Universitas Serambi Mekkah Banda Aceh Tahun 2012.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Golden Handcuff: Ketika Pekerjaan Menjadi Kebutuhan, Bukan Pilihan

5 April 2025   21:53 Diperbarui: 5 April 2025   21:49 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kondisi para pekerja yang terjebak dalam borgol emas. (Sumber gambar: Getty Images/iStockphoto/fizkes)

“Kalau memang tidak bahagia, kenapa tidak resign saja?”

Kalimat itu terdengar sederhana. Terlalu sederhana untuk menggambarkan realitas pelik yang dialami banyak pekerja di luar sana. Di balik layar laptop yang terus menyala dari pagi hingga malam, di balik senyum yang dipaksakan saat rapat daring, ada tekanan yang menumpuk. 

Rasa lelah yang tak kunjung reda. Hati yang terasa kosong meski rekening bank terisi penuh. Mereka tidak tinggal karena cinta terhadap pekerjaan, tapi karena tak ada pilihan yang benar-benar terlihat lebih baik. Mereka tahu ini bukan hidup yang ideal, tapi inilah hidup yang harus dijalani.

Bekerja bukan lagi soal menyalurkan passion atau mengejar mimpi, tapi soal bertahan. Soal memastikan kebutuhan bulanan terpenuhi, tagihan terbayar, dan status sosial tetap terjaga. 

Tidak Pernah Puas: Sebuah Kodrat Manusia

Kita sering mendengar keluhan dari mereka yang sedang menganggur tentang betapa sulitnya mencari pekerjaan, tentang betapa mereka ingin “kesempatan untuk bekerja”. 

Bagi mereka, memiliki pekerjaan berarti memiliki harapan. Sebuah jalan keluar dari rasa tidak berguna, dari tekanan sosial, dan dari kekhawatiran akan masa depan. Maka wajar jika pekerjaan dipandang sebagai anugerah yang patut disyukuri.

Namun, kenyataannya tidak sesederhana itu. Begitu pekerjaan telah didapat, keluhan tidak serta-merta hilang. Justru sering kali muncul versi baru dari ketidakpuasan. Gaji tak sebanding dengan beban kerja. 

Lingkungan kantor yang toksik. Tuntutan atasan yang tidak masuk akal. Lembur tanpa kompensasi. Semua itu membuat para pekerja merasa seolah berpindah dari satu bentuk tekanan ke bentuk lainnya.

Ini bukan berarti mereka tidak tahu bersyukur. Mereka tahu, dan mungkin setiap hari mencoba untuk meyakinkan diri sendiri bahwa “masih banyak orang di luar sana yang ingin berada di posisi ini.” 

Hidup Segan, Mati Tak Mau

Pepatah Melayu “hidup segan, mati tak mau” sangat tepat untuk menggambarkan kondisi para pekerja yang terjebak dalam borgol emas. Mereka menjalani hari-hari dengan setengah hati terbangun setiap pagi bukan karena semangat, melainkan karena kewajiban. 

Mereka tidak mencintai pekerjaannya, bahkan mungkin membencinya. Tapi untuk benar-benar meninggalkan semua itu? Terlalu banyak yang dipertaruhkan.

Ada cicilan rumah, biaya sekolah anak, tanggungan orang tua, dan gaya hidup yang perlahan membentuk standar kenyamanan tertentu. 

Semua itu menjadi beban tak kasat mata yang terus menarik mereka kembali ke kursi kerja yang sama, ke ruang rapat yang tak lagi memberi inspirasi, ke rutinitas yang semakin hambar dari hari ke hari.

Ironisnya, semakin tinggi posisi dan gaji seseorang, semakin kuat pula borgol emas yang mengikatnya. Semakin besar yang harus dikorbankan bila ingin keluar. Bukan hanya materi, tapi juga reputasi, rasa aman, dan kepastian. 

Mengapa Kita Bertahan?

Selain alasan ekonomi, ada juga rasa takut takut gagal, takut menyesal, takut jatuh ke posisi yang lebih buruk. Ketakutan-ketakutan ini membungkus diri dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan yang terus bergaung di kepala: "Kalau resign, nanti kerja di mana?" "Bagaimana kalau tempat baru lebih parah?" "Apa aku cukup kompeten untuk memulai dari nol?"

Rasa takut ini bukan tanpa dasar. Dunia kerja tidak selalu ramah pada mereka yang mencoba memulai lagi. Belum lagi tekanan sosial dari sekitar: keluarga yang mengandalkan, teman-teman yang menilai, atau pandangan masyarakat yang sering menyamakan ‘resign’ dengan ‘gagal bertahan’.

Pada akhirnya, keputusan untuk tetap tinggal bukan hanya karena uang, tetapi karena ketidakpastian di luar sana terlihat jauh lebih menakutkan daripada penderitaan yang sudah familiar. 

Pekerjaan yang membosankan atau melelahkan bisa terasa lebih aman dibanding petualangan yang belum tentu membawa hasil.

Akhir Kata

Fenomena golden handcuff bukan tentang mereka yang serakah atau manja. Ini bukan soal kurang bersyukur atau terlalu banyak menuntut. Ini adalah realita kompleks yang dihadapi oleh banyak pekerja orang-orang yang tampak sukses di luar, namun diam-diam berjuang di dalam. 

Mereka tidak bermalas-malasan. Mereka justru bekerja keras, mungkin lebih keras dari yang lain, hanya saja dengan hati yang tak lagi sepenuhnya ada di sana. Memahami hal ini penting, agar kita tidak mudah menghakimi pilihan hidup orang lain. 

Tidak semua orang bisa atau mau meninggalkan pekerjaan demi mengejar kebahagiaan. Bagi sebagian, stabilitas adalah bentuk kebahagiaan itu sendiri, walaupun harus menukar banyak hal untuk mendapatkannya.

Namun, bukan berarti harapan harus padam. Menyadari bahwa kita terjebak adalah langkah pertama menuju perubahan. Entah itu dengan membangun keberanian untuk perlahan berpindah arah, atau menciptakan makna baru dari apa yang sedang dijalani saat ini. 

Karena pada akhirnya, kita semua punya hak untuk bekerja bukan hanya demi hidup, tapi juga demi hidup yang layak dijalani. Kalau borgolnya terbuat dari emas, bukan berarti ia tidak menyakitkan. Tapi siapa tahu, suatu hari nanti, kuncinya akan kita temukan juga.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun