Bergesernya makna open house menjadi open amplop tentu menimbulkan pertanyaan: apakah tradisi ini masih relevan dengan semangat kebersamaan yang seharusnya?Â
Jika tujuan awalnya adalah mempererat silaturahmi, seharusnya acara ini tetap didasarkan pada ketulusan, bukan pada motif tersembunyi atau kepentingan transaksional.
Di satu sisi, ada yang berpendapat bahwa memberi amplop dalam acara open house hanyalah bagian dari budaya berbagi dan bentuk penghormatan kepada tuan rumah.Â
Namun, ketika praktik ini berkembang menjadi kebiasaan yang nyaris wajib, di mana tamu merasa perlu membawa sesuatu demi menjaga hubungan, atau justru berharap sesuatu sebagai balasan, maka esensi kebersamaan mulai tergeser.
Lebih dari sekadar persoalan budaya, fenomena ini juga menyentuh aspek sosial dan ekonomi. Bagi sebagian kalangan, open house dengan standar tinggi dan budaya open amplop justru menciptakan kesenjangan sosial yang semakin kentara.Â
Mereka yang tidak mampu mengikuti tren ini bisa merasa terpinggirkan atau bahkan terbebani untuk mengikuti pola yang sama. Mungkin sudah saatnya kita mengevaluasi kembali esensi dari open house.Â
Apakah masih menjadi wadah kebersamaan yang tulus, atau justru telah berubah menjadi ajang formalitas dan pamer status?Â
Masyarakat perlu kembali mengedepankan nilai-nilai asli dari tradisi ini yaitu silaturahmi yang hangat, keterbukaan tanpa pamrih, dan kebersamaan tanpa embel-embel kepentingan tertentu.
Pada akhirnya, tradisi tetap bisa berjalan dengan baik tanpa harus kehilangan maknanya. Jika open house bisa kembali pada akar budayanya yang sederhana dan penuh kehangatan, maka ia akan tetap menjadi tradisi yang bernilai, bukan sekadar seremoni yang kehilangan makna sejatinya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI