"Ramadan seharusnya menjadi bulan penuh kedamaian, refleksi, dan kebersamaan."
Ini adalah waktu di mana umat Muslim di seluruh dunia memperdalam ibadah, memperbanyak amal, dan merasakan kebersamaan dengan keluarga serta sesama. Namun, di tengah kondisi ekonomi yang semakin sulit, banyak orang justru menghadapi Ramadan dengan kekhawatiran.
Harga kebutuhan pokok yang terus melonjak, penghasilan yang tidak menentu, dan tekanan hidup sehari-hari membuat sebagian orang bertanya-tanya: bisakah Ramadan tetap terasa damai di tengah situasi yang penuh ketidakpastian ini?
Alih-alih menikmati ketenangan spiritual, banyak keluarga harus berjuang keras untuk memenuhi kebutuhan dasar. Jika dulu berbuka puasa bisa diisi dengan hidangan yang beragam, kini banyak yang harus berpikir ulang sebelum membeli bahan makanan.Â
Jika dulu bisa berbagi dengan sesama dengan lebih leluasa, kini sekadar mencukupi kebutuhan sendiri pun terasa berat. Di tengah realitas ini, Ramadan mungkin terasa berbeda.Â
Namun, apakah benar kebahagiaan di bulan suci ini bergantung pada kelimpahan materi? Ataukah justru ini menjadi kesempatan untuk menemukan kembali makna Ramadan yang sesungguhnya kesederhanaan, ketenangan, dan rasa syukur dalam keterbatasan?
Kenaikan Harga: Ujian atau Kesempatan untuk Belajar?
Setiap tahun, menjelang Ramadan, harga kebutuhan pokok hampir selalu naik. Beras, minyak goreng, daging, telur, hingga bahan makanan lainnya mengalami lonjakan harga yang signifikan.Â
Kenaikan ini tidak hanya membebani masyarakat berpenghasilan rendah, tetapi juga mereka yang sebelumnya masih mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari tanpa banyak kendala.
Fenomena ini bukanlah hal baru. Setiap Ramadan, permintaan terhadap bahan makanan meningkat, dan hal ini sering dimanfaatkan oleh spekulan untuk menaikkan harga.Â
Di sisi lain, gangguan rantai pasokan dan faktor ekonomi global juga turut berkontribusi terhadap mahalnya harga barang. Bagi sebagian orang, kenaikan ini mungkin tidak terlalu berpengaruh.Â
Namun, bagi mereka yang hidup dengan penghasilan pas-pasan, kondisi ini bisa menjadi pukulan berat yang membuat Ramadan terasa lebih sulit.
Akibatnya, banyak keluarga terpaksa mengubah pola konsumsi mereka. Jika biasanya bisa membeli lauk pauk yang lebih beragam, kini mereka harus memilih menu yang lebih sederhana.Â
Jika dulu berbuka dengan berbagai jenis takjil, sekarang harus puas dengan apa yang ada. Bahkan, ada yang harus mengurangi porsi makan agar kebutuhan bisa bertahan hingga akhir bulan.
Mendefinisikan Kembali Kebahagiaan di Bulan Ramadan
Sering kali, kita mengaitkan kebahagiaan Ramadan dengan kemewahan: meja makan yang penuh dengan hidangan lezat, baju baru untuk Idulfitri, hingga kebiasaan belanja besar-besaran seolah menjadi bagian tak terpisahkan dari bulan suci ini.Â
Tradisi ini telah begitu melekat dalam budaya masyarakat, seakan-akan Ramadan tidak akan terasa lengkap tanpa segala kemewahan tersebut.
Namun, ketika keadaan ekonomi semakin sulit dan harga-harga terus melambung, kita mulai dihadapkan pada kenyataan bahwa kebahagiaan Ramadan tidak harus selalu datang dari hal-hal yang bersifat material.Â
Banyak keluarga yang kini tidak lagi bisa membeli berbagai jenis makanan untuk berbuka, apalagi menyiapkan anggaran khusus untuk baju baru atau perayaan lainnya.
Di sinilah kita perlu bertanya kembali: apakah kebahagiaan Ramadan benar-benar bergantung pada kemewahan? Ataukah selama ini kita hanya terjebak dalam pola pikir konsumtif yang terbentuk oleh kebiasaan dan tekanan sosial?
Berbagi di Tengah Kesulitan: Kunci Ramadan yang Lebih Bermakna
Salah satu keindahan Ramadan adalah semangat berbagi. Di tengah kesulitan ekonomi, kita mungkin berpikir bahwa berbagi menjadi hal yang sulit dilakukan.Â
Bagaimana mungkin membantu orang lain jika untuk memenuhi kebutuhan sendiri saja terasa berat? Namun, berbagi tidak selalu harus dalam bentuk materi atau uang.Â
Sering kali, kita lupa bahwa sekadar memberi perhatian, mendukung orang lain dengan doa, atau membantu dengan tenaga dan waktu juga merupakan bentuk sedekah yang bernilai besar.Â
Bahkan, senyum yang tulus kepada sesama pun dianggap sebagai amal baik dalam Islam. Di saat banyak orang mengalami kesulitan, berbagi bisa dilakukan dengan cara yang lebih sederhana dan sesuai kemampuan.Â
Misalnya, jika tidak bisa memberikan makanan dalam jumlah besar, kita bisa berbagi dengan porsi kecil, sekadar membagikan kurma atau air putih kepada orang yang membutuhkan.Â
Jika tidak bisa bersedekah dalam bentuk uang, mungkin kita bisa menawarkan bantuan lain, seperti membantu tetangga yang kesulitan atau sekadar menemani mereka yang membutuhkan dukungan emosional.
Menemukan Ketenangan di Tengah Keterbatasan
Jadi, masihkah kita bisa menikmati Ramadan dengan tenang saat semua serba mahal? Jawabannya bergantung pada bagaimana kita melihat situasi ini.Â
Jika kita terus terjebak dalam kecemasan dan membandingkan Ramadan tahun ini dengan tahun-tahun sebelumnya yang mungkin lebih lapang, maka kesulitan ekonomi akan terasa semakin membebani.Â
Namun, jika kita memilih untuk melihatnya sebagai kesempatan untuk kembali kepada esensi Ramadan yang sesungguhnya kesederhanaan, kesabaran, dan rasa syukur maka kita masih bisa menemukan ketenangan meskipun dalam keterbatasan.
Ramadan bukan tentang seberapa banyak makanan yang tersaji, seberapa mewah pakaian yang dikenakan, atau seberapa banyak yang bisa dibeli. Ramadan adalah tentang bagaimana kita mengendalikan diri, meningkatkan ketakwaan, dan lebih peduli terhadap sesama.Â
Justru, di saat sulit seperti ini, kita bisa lebih memahami makna menahan diri dan merasakan solidaritas dengan mereka yang setiap hari hidup dalam keterbatasan.
Pada akhirnya, Ramadan tetaplah bulan yang penuh berkah, tidak peduli seberapa besar tantangan yang kita hadapi. Selama kita mampu menjaga hati tetap tenang, menjalani hari-hari dengan keikhlasan, dan tetap berusaha menjadi pribadi yang lebih baik, maka Ramadan akan tetap terasa indah.Â
Karena kebahagiaan sejati di bulan suci ini tidak datang dari kemewahan, tetapi dari ketenangan hati, rasa syukur, dan kedekatan kita dengan Allah.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI