Di sisi lain, gangguan rantai pasokan dan faktor ekonomi global juga turut berkontribusi terhadap mahalnya harga barang. Bagi sebagian orang, kenaikan ini mungkin tidak terlalu berpengaruh.Â
Namun, bagi mereka yang hidup dengan penghasilan pas-pasan, kondisi ini bisa menjadi pukulan berat yang membuat Ramadan terasa lebih sulit.
Akibatnya, banyak keluarga terpaksa mengubah pola konsumsi mereka. Jika biasanya bisa membeli lauk pauk yang lebih beragam, kini mereka harus memilih menu yang lebih sederhana.Â
Jika dulu berbuka dengan berbagai jenis takjil, sekarang harus puas dengan apa yang ada. Bahkan, ada yang harus mengurangi porsi makan agar kebutuhan bisa bertahan hingga akhir bulan.
Mendefinisikan Kembali Kebahagiaan di Bulan Ramadan
Sering kali, kita mengaitkan kebahagiaan Ramadan dengan kemewahan: meja makan yang penuh dengan hidangan lezat, baju baru untuk Idulfitri, hingga kebiasaan belanja besar-besaran seolah menjadi bagian tak terpisahkan dari bulan suci ini.Â
Tradisi ini telah begitu melekat dalam budaya masyarakat, seakan-akan Ramadan tidak akan terasa lengkap tanpa segala kemewahan tersebut.
Namun, ketika keadaan ekonomi semakin sulit dan harga-harga terus melambung, kita mulai dihadapkan pada kenyataan bahwa kebahagiaan Ramadan tidak harus selalu datang dari hal-hal yang bersifat material.Â
Banyak keluarga yang kini tidak lagi bisa membeli berbagai jenis makanan untuk berbuka, apalagi menyiapkan anggaran khusus untuk baju baru atau perayaan lainnya.
Di sinilah kita perlu bertanya kembali: apakah kebahagiaan Ramadan benar-benar bergantung pada kemewahan? Ataukah selama ini kita hanya terjebak dalam pola pikir konsumtif yang terbentuk oleh kebiasaan dan tekanan sosial?
Berbagi di Tengah Kesulitan: Kunci Ramadan yang Lebih Bermakna