Dinasti ini berlanjut di bawah pemerintahan putra Thahir, Thalhah bin Thahir (822-827 M), dan kemudian diteruskan oleh saudaranya, Abdullah bin Thahir (827-844 M), yang memperluas kekuasaan dinasti hingga wilayah Mesir, Suriah, dan Jazirah. Namun, hubungan antara Dinasti Thahiriyah dan Khalifah Abbasiyah mulai memburuk ketika Abdullah bin Thahir lebih berpihak kepada keturunan Ali bin Abi Thalib, yang menyebabkan al-Ma'mun menarik kembali wilayah Mesir, Suriah, dan Jazirah. Setelah Abdullah, pemerintahan dinasti ini diteruskan oleh Muhammad bin Thahir di Khurasan, namun pada akhirnya dinasti ini digantikan oleh Dinasti Shaffariyah pada tahun 872 Masehi setelah mengalami kemunduran politik dan konflik internal.
Dinasti Thahiriyah mulai mengalami kemunduran setelah ketidakpuasan khalifah Abbasiyah terhadap sikap Abdullah bin Thahir yang lebih mendukung keturunan Ali. Ketegangan ini mengarah pada penarikan wilayah-wilayah kekuasaan dari tangan Abdullah, yang akhirnya melemahkan dinasti ini. Dengan demikian, meskipun Dinasti Thahiriyah pernah berjaya di wilayah Timur Baghdad, akhirnya dinasti ini runtuh dan digantikan oleh dinasti-dinasti baru seperti Shaffariyah yang mulai muncul setelah tahun 872 Masehi. Perkembangan politik dinasti-dinasti kecil di wilayah Timur Baghdad ini mencerminkan proses disintegrasi yang terjadi dalam Kekhalifahan Abbasiyah akibat faktor-faktor internal dan eksternal, serta dinamika persaingan antara kelompok-kelompok politik dan ideologi yang ada.
Dinasti Shaffariyah (867-908 M)
Dinasti Shaffariyah didirikan oleh Ya'qub bin al-Laits al-Shaffar, yang memulai kariernya sebagai seorang pandai besi dan perampok. Meskipun tidak berasal dari keluarga bangsawan, Ya'qub berhasil membangun kekuasaan yang besar di wilayah Sijistan, Persia, dan sekitarnya. Dia dikenal karena keberaniannya dalam memerangi pemberontakan Khawarij dan kepemimpinannya yang kuat, yang membuatnya mendapatkan kepercayaan dari gubernur Sijistan. Karena kemampuannya, penduduk Sijistan menjadikannya "raja," dan ia menggantikan tuannya untuk memimpin wilayah tersebut.
Ya'qub kemudian memperluas wilayah kekuasaannya ke Herat, Naisabur, Makran, Kerman, dan bahkan ke wilayah Sindh di pinggiran India. Ekspansi ini menyebabkan kekuasaan Dinasti Shaffariyah menjadi ancaman bagi Baghdad yang dipimpin oleh Khalifah al-Mu'tamid pada tahun 870 Masehi. Ya'qub dikenal memiliki sifat kewaspadaan tinggi, kemampuan perencanaan yang matang, dan keterampilan dalam memilih orang-orang dekatnya serta mempersiapkan pasukan. Selain itu, dia mampu menciptakan keamanan dan ketentraman dalam wilayah kekuasaannya.
Meskipun begitu, upaya Ya'qub untuk mempererat hubungan dengan pemerintahan Abbasiyah melalui pengiriman hadiah ditolak oleh khalifah, yang merasa terancam oleh kekuasaan Ya'qub. Sebagai akibatnya, terjadilah serangan dari Abbasiyah pada tahun 875 Masehi, yang memaksa Ya'qub melarikan diri ke Naisabur, di mana dia meninggal pada tahun 878 Masehi.
Setelah kematian Ya'qub, dinasti ini dipimpin oleh saudaranya, Amru bin al-Laits, yang lebih harmonis dalam hubungannya dengan pemerintahan Abbasiyah. Amru menerima kepercayaan dari Abbasiyah sebagai gubernur wilayah Khurasan, Persia, Isfahan, Sijistan, Sindh, dan Kerman. Namun, Amru masih berambisi memperluas kekuasaannya, khususnya di wilayah Transoxiana. Meskipun sempat mengirim pasukan ke wilayah tersebut, dia mengalami kekalahan setelah pertempuran dengan Ismail bin Ahmad al-Samani, penguasa Transoxiana, pada tahun 900 Masehi. Amru ditawan dan dibawa ke Baghdad, di mana dia wafat pada tahun 901 Masehi.
Setelah kekalahan Amru bin al-Laits, Dinasti Shaffariyah mulai mengalami kemunduran. Kemenangan Ismail al-Samani dalam menghentikan ekspansi Shaffariyah disambut dengan kegembiraan oleh Khalifah al-Mu'tadhid, yang menganggap ini sebagai kemenangan besar untuk stabilitas Abbasiyah. Setelah Amru, dinasti ini dipimpin oleh cucunya, Thahir bin Muhammad bin Amru as-Shaffar, namun kepemimpinan Thahir lemah dan tidak berpengalaman.
Pada tahun 908 Masehi, Thahir dikalahkan oleh pamannya sendiri, as-Sabakary, yang akhirnya diusir dari dinasti dan meminta bantuan pasukan dari Khalifah al-Muktadir. Pasukan Abbasiyah menyerang dan berhasil menangkap as-Sabakary pada tahun 910 Masehi, menandai akhir dari Dinasti Shaffariyah. Ahmad bin Ismail, yang menangkap sisa-sisa kekuasaan Shaffariyah, mengirimnya ke Baghdad, yang menjadi akhir dari dinasti ini. Dengan runtuhnya Dinasti Shaffariyah, berakhirlah pengaruh mereka di Timur, dan kekuasaan kembali berada di tangan Abbasiyah.
Dinasti Samaniyah (819-999 M)
Dinasti Samaniyah didirikan oleh keluarga Bani Saman, yang berasal dari Transoxiana dan Persia. Keluarga ini dikenal sebagai keturunan bangsawan Zoroaster dari daerah Balkh, dan mereka mulai muncul pada era Khalifah Harun ar-Rasyid, ketika empat cucu Saman---Nuh, Ahmad, Yahya, dan Ilyas---membantu Khalifah menumpas pemberontakan Rafi' bin al-Laits di Samarkand. Keempat putra Asad bin Saman ini kemudian diangkat sebagai penguasa di berbagai wilayah seperti Samarkand, Ferghana, Al-Syas, dan Herat.