Mohon tunggu...
Muhammad Andika Widiansyah P
Muhammad Andika Widiansyah P Mohon Tunggu... Konsultan - Finance Manager at PT Billah Berdikari Indonesia

Seorang pembelajar yang memiliki ketertarikan pada dunia keuangan perusahaan dan keuangan pribadi. Saat ini tengah menempuh program profesi di IARFC Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Magang Merdeka: Praktik Baik dari Merdeka Belajar

29 Mei 2023   06:23 Diperbarui: 29 Mei 2023   06:31 366
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Hai kompasiana,

Semarak Merdeka Belajar – Beberapa waktu lalu, saya sempat membaca beberapa artikel mengenai defisit lapangan pekerjaan di mana para lulusan baru dari perguruan tinggi dipandang tidak mempunyai skill yang cukup dan tidak lagi mampu untuk memenuhi tuntutan industri. Dampaknya tidak tanggung-tanggung, menurut Menaker, jumlah penganggur di level diploma dan sarjana mencapai 12 persen. Angka yang cukup mengkhawatirkan, terutama bagi para mahasiswa sendiri maupun pihak keluarga yang berharap bisa memperbaiki kondisi perekonomian pasca kelulusan anaknya.

Kondisi ini semakin menunjukkan tingkat kedaruratannya saat Pak Muhadjir Effendi, Menko PMK, menekankan pentingnya para lulusan perguruan tinggi untuk menciptakan Iapangan kerja sendiri sebagai langkah untuk merampingkan jumlah pengangguran di Indonesia. Lemhanas juga turut memperkuat statement ini dengan menyatakan kalau UU Ciptaker menjadi wacana kebijakan penting untuk mempercepat daya serap tenaga kerja di Indonesia. Tapi apakah benar permasalahan yang muncul selama ini hanya berasal dari skill gap antara kebutuhan industri & keahlian para lulusan baru?

Mempertanyakan hal ini, saya menemukan satu isu yang cukup relevan dengan apa yang saya dapati di perkuliahan. Irene Guntur, ahli Educational Psychologist dari Integrity Development Flexibility (IDF), mengatakan bahwa ada 87 persen mahasiswa di Indonesia yang merasa salah jurusan. Faktornya awalnya beragam, dari mulai mengikuti teman, terlalu banyak menerima saran, tawaran beasiswa, tuntutan orangtua, atau hanya mencari peluang untuk memperbesar potensi diterima.

Permasalahan-permasalahan di atas sebenarnya menunjukan satu benang merah yang menjadi permasalahan mendasar di dunia pendidikan kita. Para pelajar, termasuk saya, tidak mengetahui apa yang sebenarnya diminati, profesi apa yang ingin ditekuni, dan apa yang harus dipelajari untuk memasuki profesi tersebut nantinya. Maka wajar saja jika setelah memasuki bangku perkuliahan, banyak mahasiswa yang merasa salah jurusan dan menjalani perkuliahan dengan sekenanya saja.

Stagnasi pendidikan dan agilitas yang terbatas

Saat menulis ini, saya teringat ucapan seorang rekan yang berprofesi sebagai guru di salah satu sekolah alam. Katanya, “Cara kita belajar di sekolah dulu memang kurang efektif. Kita menghabiskan banyak waktu untuk mempelajari dan mendapat nilai bagus di pelajaran-pelajaran yang sebenarnya belum tentu akan dipakai di hidup kita.”

Di akhir kalimatnya, rekan saya ini berujar, “Kita tidak pernah dapat kesempatan untuk mengeksplorasi apa yang kita minati. Akhirnya ya wajar saja kalau kita jadi salah jurusan.”

Sebuah rangkaian kalimat non-populis yang bisa kita perdebatkan, tentu, meski di sisi lain kalimat di atas saya rasa ada benarnya. Selama menjalani program wajib belajar 12 tahun, saya pribadi merasa bahwa ilmu yang dipelajari di sekolah hanya pada bidang yang cenderung statis dan itu-itu saja tanpa pernah menyentuh ranah praktis. Bahkan seingat saya, tidak pernah sekalipun ada bahasan terkait keprofesian di bangku sekolah. Bahasan keprofesian justru baru terdengar di bangku perkuliahan saat semuanya sudah ‘terlambat’.

Permasalahan ini menjadi semakin tidak sederhana ketika mindset yang terbentuk di benak mahasiswa selama berkuliah masih sama seperti apa yang dimiliki saat sekolah dulu. Proses perkuliahan masih dianggap sebagai proses belajar-mengajar seperti biasa yang keberhasilannya ditakar dari nilai yang didapatkan, bukan dari kedalaman penguasaan keilmuan dan penelitian yang dihasilkan. Maka wajar saja jika Plt Dirjen Dikti, Prof Nizam, menyatakan kalau perguruan tinggi selalu tertinggal minimal 5 tahun dari industri, atau dengan kata lain, keahlian lulusan perguruan tinggi selalu tidak relevan dengan kebutuhan lapangan tenaga kerja saat itu.

Proses pendidikan menjadi stagnan dan lembaga pendidikan kehilangan agilitasnya untuk mengikuti perkembangan dunia industri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun