Musim berganti. Tanpa rambut Sri yang ajaib, Lembah Kelara justru menemukan iramanya sendiri: Â
1. Anak-Anak yang Mulai Melupakan Â
Mereka tidak lagi berkumpul di tebing menunggu Sri membuka sanggulnya. Tapi kadang, saat hujan turun, mereka berlarian sambil berteriak: "Sri! Sri! Kita mau main air!" Padahal Sri hanya duduk di pondoknya, tersenyum melihat rambut pendeknya yang tak lagi ajaib. Â
2. Pertanda Baru Â
Di tempat Sri biasa duduk, sekarang tumbuh pohon kecil berdaun perak. Jika disentuh, daun-daun itu bergetar seperti rambut tertiup angin. Nenek Kebayan bilang itu "pohon doa"---tempat orang-orang desa menggantungkan harapan mereka dengan benang merah. Â
3. Rian yang Kembali Â
Dua tahun kemudian, pria itu muncul lagi---tapi bukan dengan mesin. Tangannya penuh dengan luka bakar aneh berbentuk seperti helai rambut. "Aku butuh biji emas terakhirmu," pintanya pada Sri. Perusahaannya bangkrut karena semua awan yang mereka sedot berubah menjadi asam. Â Sri memberinya batu biasa dari sungai. "Ini lebih berharga dari emas," katanya. Anehnya, di tangan Rian, batu itu tiba-tiba terasa hangat. Â
Epilog: Surat untuk Mayang Â
Di suatu senja, Sri menulis di atas daun kering dengan jarum:Â
"Ibu, Aku akhirnya mengerti mengapa kau memotong rambutmu dulu. Bukan karena kita kalah, tapi karena kita memilih untuk tidak menjadi jembatan lagi. Sekarang hujan turun bukan karena kewajiban tapi karena langit memang rindu pada bumi. Â
"Anakmu, Â Yang belajar merdeka" Â Daun itu ia ikatkan ke dahan pohon perak. Angin membawanya tinggi-tinggi, sampai hilang di antara awan yang berarak pulang. Â