Mohon tunggu...
Muhammad Agus Sofian
Muhammad Agus Sofian Mohon Tunggu... Dosen/Seniman

Nama Saya Muhammad Agus Sofian saya aktif di Dunia Sosial dan Akademik.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Wanita Penenun Hujan

30 Mei 2025   21:55 Diperbarui: 30 Mei 2025   21:45 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hujan turun deras di Lembah Desa Kelara hari itu. Bukan rintik-rintik lembut seperti biasa, tapi curahan dahsyat yang menghanyutkan mesin penyedot awan ke jurang.  Rian dan timnya lari terbirit-birit. Mereka tidak melihat Sri yang berdiri di tengah ladang, rambutnya sekarang sependek telinga, basah kuyup oleh air hujan yang turun bebas untuk pertama kalinya. Di telapak tangannya, ada satu biji emas terakhir. Kali ini, rasanya dingin sekali. Dan saat itu juga hujan turun kembali normal tanpa ada campur tangan Sri.  "Kadang kita harus kehilangan mahkota untuk menemukan kembali kulit asli kita."  

"Perempuan yang Menenun Hujan dari Rambutnya" (Bagian 2)

Kisah Masa Lalu Ibu Sri  

Di balik kabut Lembah Kelara yang selalu bergulung, tersimpan rahasia tentang perempuan bernama Mayang---ibu Sri yang mati muda dengan rambut terpotong kasar.  Nenek Kebayan duduk di beranda gubuknya, menatap Sri yang kini berambut pendek. "Ibumu dulu memilih jalan yang sama," ujarnya sambil mengisap pipa tanah liat. Asapnya membentuk pola-pola aneh di udara.  

Flashback:  

Mayang bukan penenun biasa. Rambutnya yang hitam legam bisa menumbuhkan padi hanya dengan disentuh ke tanah. Tapi ketika orang-orang dari kota datang membawa bibit "modern", mereka menertawakan ritual desa. "Kami punya pupuk yang lebih kuat dari sihir!" seru salah satu mereka.  Malam sebelum musim tanam, Mayang memotong semua rambutnya. Esok harinya, biji-bijian emas yang biasanya subur, berubah menjadi batu-batu kecil. Orang kota itu pergi tergopoh-gopoh, meninggalkan sawah yang gagal panen. Tujuh hari kemudian, Mayang ditemukan tewas di tebing---rambutnya yang pendek basah oleh hujan yang turun deras tanpa henti, seperti langit sedang menangisinya.  "Kau mirip dengannya," bisik Nenek Kebayan pada Sri. "Tapi kau lebih berani."  

Asal-Usul Mesin Penyedot Awan  

Rian, pria kota itu, ternyata bukan ahli meteorologi. Di laci motelnya yang kumal, tersembunyi dokumen bertuliskan "Proyek HX-9: Ekstraksi Unsur Murni Atmosfer".  Mesin itu dirancang oleh perusahaan energi untuk mencuri ion-ion bermuatan di awan---sumber listrik terbarukan yang mereka sebut "emas biru". Tapi mereka tidak tahu bahwa di Lembah Kelara, awan-awan itu hidup dalam simbiosis dengan rambut Sri.  

Scene Misterius: 

Saat mesin dinyalakan, bukannya menghasilkan energi, alat itu justru memuntahkan air keruh berwarna hitam. Salah satu teknisi yang tersengat cairan itu langsung mengigau: "Ada perempuan... perempuan dengan rambut panjang... dia marah..." Rian mengabaikannya. Baginya, ini hanya gangguan teknis. Sampai ia menemukan catatan kuno di perpustakaan kota:  "Di mana rambut dewa menyentuh bumi, di sana hujan akan tunduk pada kehendak manusia---tapi alam selalu menagih utangnya dengan lebih mahal." 

Kehidupan Desa Pasca Hujan Bebas  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun