Prolog Â
Di kaki gunung yang selalu berselimut kabut, ada desa kecil bernama Lembah Kelara. Di sana, hujan tidak datang dengan sendirinya. Ia hanya turun ketika Sri membuka sanggul rambutnya. Setiap pagi, gadis penenun itu duduk di ujung tebing, melepaskan ikatan hitam pekat yang mengurung gelombang rambutnya. Begitu helai-helai itu terurai, langit pun menangis. Rintik pertama selalu jatuh persis di ubun-ubunnya, mengalir pelan seperti air membasahi akar pohon beringin tua. Â Anak-anak desa percaya Sri adalah titisan dewi. Orang tua mereka hanya menggeleng, "Dia cuma gadis yang membawa kutukan paling indah." Sebab di balik karunia itu, ada harga yang harus dibayar: setiap helai rambut Sri yang rontok berubah menjadi biji emas sebesar kuku bayi. Â
Ritual Aneh Â
Sri memunguti emas-emas kecil itu setiap sore, setelah mengepang kembali rambutnya. Biji-bijian itu dingin seperti es, meski matahari belum sepenuhnya tenggelam. "Untuk desa," bisiknya sambil menaburkannya ke dalam celah-celah batu cadas. Esoknya, di tempat itu akan tumbuh padi atau jagung yang subur. Â Tapi malam ini berbeda. Ketika jarinya menyentuh biji emas terakhir, ia tidak merasakan apa-apa. Tidak ada dingin yang menusuk. Tidak ada getaran aneh di ujung jemari. Sri menatap telapak tangannya yang mulai memerah, seperti kulit yang terbakar tanpa api. Â
Kedatangan Orang Asing Â
Mereka datang dengan truk besar bermesin diesel. Tiga pria dari kota, mengaku sebagai tim ahli meteorologi. Alat mereka yang berbentuk seperti terompet raksasa dipasang di lapangan desa. "Kami akan membuat hujan turun teratur," kata pemimpin mereka, laki-laki bernama Rian, sambil menepuk-nepuk mesin penyedot  awan yang berdentum-dentum.  Sri berdiri di balik pohon asam, melihat bagaimana mesin itu menyedot  kabut pagi. Langit menjadi terlalu biru, terlalu kosong. Rambutnya yang biasanya langsung basah oleh rintik pagi, kali ini tetap kering. Â
Konflik Batin Â
"Mengapa kau tidak lagi menggigil?" tanya Nenek Kebayan, perempuan tua penjaga ritual desa. Sri mengangkat mangkuk tembaga berisi air gunung. Ia mencelupkan jari, menunggu rasa dingin yang tak kunjung datang. "Aku seperti kehilangan musim dingin dalam diriku sendiri, Nek." Â Di luar, mesin penyedot awan meraung-raung. Sawah-sawah mulai retak. Anak-anak menjerit kegirangan saat Rian membagikan permen cokelat berbungkus emas---rasanya pahit, tapi mereka tak pernah mencicipi manisnya gula kota. Â
Titik Balik Â
Pada pagi ketujuh tanpa hujan, Sri duduk di depan cermin pecah peninggalan ibunya. Pisau gunting berkilat di genggamannya. Â "Kau tahu apa yang terjadi jika kau memotongnya?" Nenek Kebayan berdiri di ambang pintu, suaranya serak oleh debu. Â Sri menarik napas. Ia masih ingat ibunya yang mati muda, rambutnya dipotong pendek seperti anak laki-laki. "Aku akan berhenti menjadi jembatan antara langit dan bumi." Â Gunting itu mengerat. Helai pertama jatuh, berubah menjadi emas yang langsung menghitam seperti terbakar. Di luar, guntur menggelegar. Â
Epilog Â