Itulah tepatnya maksud saya ketika mengatakan manajemen waktu bukan soal aturan kaku, melainkan metode, ritme, dan kebiasaan. Kita dituntut agar cukup lentur untuk membelok, cukup tangguh untuk bertahan, dan cukup menyenangkan untuk terus dijalankan. Proyek akademik seperti skripsi bukanlah proses mekanis yang bisa direduksi menjadi langkah preskriptif. Ia adalah seni yang dibentuk oleh perencanaan tetapi tetap membutuhkan pengalaman, intuisi, dan fleksibilitas.
Aturan kaku dan rencana sempurna tampak mengesankan, tetapi sangat rapuh. Satu hambatan, seperti mandek dalam riset atau sakit, bisa dengan mudah mengacaukannya. Kebiasaan, sebaliknya, lebih adaptif. Ia memungkinkan kita menyamping sejenak, menata ulang, lalu kembali tanpa kehilangan momentum.
Peran keberuntungan tidak boleh diabaikan.
Saya menganggap saya beruntung karena mampu menikmati proses menyelesaikan skripsi, kendati keberuntungan ini, paradoksnya, bisa diciptakan. Saya juga beruntung mendapat dosen pembimbing yang sebelumnya banyak melibatkan saya dalam proyek-proyek penelitiannya. Akumulasi dari kolaborasi ini membuat komunikasi kami lebih mengalir. Lama-kelamaan, saya memahami preferensi beliau, demikian pula sebaliknya.
Itu membuat setiap kritik dan masukan terasa lebih ringan untuk saya telan. Saya bahkan meminta beliau untuk meninjau skripsi saya sekeras mungkin. Hasilnya, saya mengubah pertanyaan penelitian dua kali, kerangka teoretis dua kali, dan metode tiga kali. Jadi bisa dibayangkan berapa kali saya merombak skripsi saya. Namun bagi saya, itu bukan kegagalan; itu hanyalah proses alami dari evolusi intelektual.
Kombinasi antara metode kerja, keberuntungan, dan segala yang berada di celah-celahnya itulah yang membantu saya menyelesaikan skripsi tepat waktu. (Maksud “tepat waktu” di sini adalah sekitar delapan semester atau empat tahun kuliah, yang merupakan standar umum di kampus-kampus Indonesia.) Saya tidak lebih cepat atau lebih disiplin daripada yang lain; saya pikir saya hanya lebih mampu bertahan dan berkomitmen.
Sebagian besar mahasiswa memperlakukan skripsi seperti lomba sprint. Mereka percaya skripsi harus dikerjakan dengan intensitas tinggi, mungkin lima atau enam jam per hari. Mereka tergesa-gesa, memadatkan agenda, dan memaksakan diri sampai batasnya. Jika cara ini berhasil bagi sebagian orang, biarlah. Bagi saya, itu tidak berhasil.
Alih-alih sprint, saya melihat skripsi sebagai maraton. Itu adalah seni menjaga tempo dan ritme, memelihara daya tahan dan kepuasan selama prosesnya, dan tetap bergerak bahkan ketika jalan berbelok tak terduga. Itu berarti membangun proses yang tahan lama sekaligus manusiawi. Bekerja secara konsisten, tetapi memberi ruang untuk jalan memutar. Terus kembali, tetapi tahu kapan harus berhenti. Memperlakukan kritik bukan sebagai penolakan, melainkan bagian dari ritme.
Dan semoga keberuntungan memberkati selama prosesnya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI