Di Korea Selatan, misalnya, muncul teori "kelas sendok" sebagai bentuk keluhan atas sulitnya mobilitas sosial ke atas. Teori ini mengelompokkan orang ke dalam kelas "sendok emas", "sendok perak", dan "sendok tanah" berdasarkan status sosioekonomi orang tua mereka.
Dikatakan bahwa orang kaya menjadi kaya semata-mata karena lahir dengan "sendok emas" atau "sendok perak" di mulut mereka, sedangkan orang miskin menjadi miskin karena sial lahir dengan "sendok tanah". Teori ini populer seiring dengan meningkatnya rasa frustrasi masyarakat atas macetnya "lift sosial", dan tampaknya tidak terlalu sulit untuk mengamati relevansi teori tersebut di luar Korea Selatan.
Demikian pula, negara membayar mahal untuk masalah ketimpangan dalam hal demokrasi. Hampir keniscayaan bahwa ketimpangan ekonomi berubah menjadi ketimpangan politik: seiring meningkatnya pengaruh orang kaya, mereka semakin leluasa menulis aturan permainan politik untuk memberi diri mereka lebih banyak kekuasaan dan sumber daya.
Konsentrasi kekayaan memberi elite daya tawar untuk mencengkeram kebijakan publik, mulai dari aturan perpajakan yang ringan hingga deregulasi lingkungan, sembari mengabaikan suara mayoritas. Pada puncaknya, demokrasi pun terdegradasi menjadi plutokrasi: pemerintahan oleh dan untuk orang kaya. Maka ketimpangan bukan lagi sekadar persoalan koefisien Gini, melainkan pembusukan pondasi masyarakat itu sendiri.
Pesimisme saja tidak akan menyelesaikannya
Betul, semua gagasan di atas teramat pahit untuk ditelan. Rasanya lebih menyenangkan untuk meyakini bahwa masalah sebenarnya bukanlah kesenjangan ekonomi, melainkan ketidaksetaraan peluang dan kemiskinan absolut. Kekhawatiran akan ketimpangan lebih terdengar seperti seruan "perang kelas", seolah ingin menyerang orang-orang kaya atas penghasilan besar yang mereka terima.
Tidak mengherankan bila beberapa ahli seperti ekonom Tyler Cowen meminta kita untuk lebih berfokus pada mobilitas sosial daripada ketimpangan. Dengan begitu, solusi utamanya bukanlah redistribusi kekayaan dari atas ke bawah, melainkan penciptaan kekayaan. Bukan bagaimana mendistribusikan ulang kekayaan dari atas ke bawah, melainkan bagaimana membuat orang-orang miskin menjadi kaya.
Masalahnya, sebagaimana sudah dicatat di atas, mustahil memecahkan kemiskinan dan ketidaksetaraan peluang jika kita selamanya membiarkan ketidaksetaraan kekayaan menganga lebar. Ya, kita harus membuat orang-orang miskin menjadi kaya, tetapi gagasan ini mensyaratkan pengurangan ketimpangan upah, pendapatan, dan kekayaan.
Tanpanya, pertumbuhan ekonomi yang kian tinggi dan kue nasional yang semakin besar tetap akan dikantongi kaum elite pemilik modal dan hanya memberi sedikit untuk kelompok berpenghasilan rendah.
Ini bukan narasi apokaliptik, tetapi justru dorongan kepada semua elemen masyarakat sipil untuk segera mengambil tindakan serius. Perubahan jelas tidak terjadi dengan sendirinya, dan sulit mengharapkan itu akan bermula dari atas.
Jadi, harapan terbesar kita saat ini terletak pada energi dan ketahanan kelompok akar rumput yang berjuang untuk urbanisasi yang adil, pengembangan dan pelestarian perumahan terjangkau, serta pengakuan oleh pembuat kebijakan bahwa kota-kota seharusnya mencerminkan prinsip-prinsip demokratis kita (inklusif, partisipasitoris, dan otonomi) lebih dari prinsip-prinsip ekonomi kita (akumulasi, privatisasi, dan profit).
Kita, lagi dan lagi, perlu membangun solidaritas, berpartisipasi sebagai komunitas, dan mengajukan pertanyaan kritis terhadap institusi dan demokrasi kita.