Anak-anak ini juga tumbuh dengan jejaring sosial yang terbatas dan lebih rentan mengalami stres akibat ketidakstabilan lingkungan atau ketidakamanan ekonomi, yang secara ilmiah terbukti menghambat perkembangan otak, prestasi akademik, serta prospek kesehatan dan ekonomi jangka panjang. Hasilnya, permainan menjadi tidak setara.
Lebih penting lagi, anggapan bahwa ketimpangan dapat diterima karena "setiap orang dihargai sesuai jerih payahnya sendiri" ternyata rapuh dan naif. Jika kita perhatikan realitas 1% populasi dengan pendapatan tertinggi, mayoritas bukanlah penemu revolusioner seperti penemu DNA, laser, atau transistor yang mengubah peradaban. Mereka bukanlah orang-orang brilian yang temuannya dapat menyelamatkan nyawa banyak orang.
Secara tidak proporsional, mereka biasanya adalah orang-orang yang ahli dalam perburuan rente (rent seeking), tindakan memperbesar kekayaan dengan memanipulasi sistem politik dan ekonomi tanpa menciptakan nilai baru. Perburuan rentelah yang mencerminkan banyak cara di mana proses politik kita saat ini membantu orang kaya dengan mengorbankan semua orang lain.
Mereka mendominasi (kalau bukan memonopoli) pasar melalui transfer dan subsidi dari pemerintah, regulasi yang membuat pasar kurang kompetitif, aturan yang memungkinkan para CEO mengambil bagian yang tidak proporsional dari pendapatan perusahaan, serta undang-undang yang membiarkan perusahaan merusak lingkungan demi keuntungan semata.
Singkatnya, mereka mencaplok kue nasional untuk kelompok mereka sendiri, bukan memperbesar ukuran kuenya untuk mengangkat semua perahu.
Argumen kedua yang mengklaim kemiskinan, bukan ketimpangan, sebagai inti masalah juga problematis. Semakin banyak penelitian menunjukkan hubungan kuat antara ketimpangan dan kemiskinan. Misalnya, dengan studi kasus Amerika Serikat, Elise Gould dari Economic Policy Institute mengungkap bahwa ketimpangan merupakan pendorong utama kemiskinan. Dampaknya jauh lebih besar daripada faktor pendidikan, ras, atau struktur keluarga.
Jadi, kita tidak bisa mengatasi kemiskinan tanpa mengatasi ketimpangan pendapatan dan kekayaan. Mekanismenya jelas: ketika pertumbuhan ekonomi hanya mengalir ke puncak piramida, sumber daya untuk mayoritas masyarakat otomatis menyusut. Namun, hal ini bukan berarti bahaya ketimpangan hanya berasal dari kemiskinan yang ada di dalamnya. Bahkan jika kita berandai-andai kemiskinan absolut musnah dari muka bumi, kesenjangan tetaplah berbahaya.
Itu sudah menjadi bahan refleksi Adam Smith, bapak kapitalisme yang sering disalahpahami sebagai orang tidak bermoral. Dalam The Theory of Moral Sentiments, Smith mewanti-wanti bahwa ketimpangan kekayaan mendistorsi simpati alami manusia, di antaranya dengan mengagumi dan meniru orang kaya secara berlebihan, sambil mengabaikan (atau bahkan memandang rendah) kaum miskin. Kekaguman buta seperti itu, tegas Smith, adalah masalah etis fundamental.
Smith menggambarkan strata elite dipenuhi "kejahatan dan kebodohan", "keangkuhan dan kesombongan", "tipuan dan kepalsuan". Bukan karena orang-orang kaya itu pada dasarnya jahat. Sebaliknya, menurut Smith, kemakmuran menempatkan mereka pada posisi di mana mereka tidak harus berperilaku etis untuk mendapatkan penghargaan dari orang lain, yang sebagian besar terpesona dan terpukau oleh kekayaan mereka.
Kekhawatiran Smith terbukti nyata hari ini. Kekuatan finansial yang terpusat memungkinkan segelintir orang membajak proses politik melalui lobi dan regulasi khusus, menyulap hukum demi kepentingan pribadi, sehingga supremasi hukum secara laten berubah menjadi supremasi modal.
Tak hanya itu, ketimpangan ekonomi juga membuat mobilitas sosial tersendat. Ungkapan "orang kaya semakin kaya dan orang miskin semakin miskin" bukan lagi sekadar kata-kata klise para pengangguran yang engap memenuhi kebutuhan sehari-hari; itu sudah menjadi kenyataan yang berlaku di Indonesia dan banyak negara lainnya.