Dalam skala kecil, kita tidak memerlukan grafik atau statistik apa pun untuk merasakan denyut ketimpangan di Indonesia. Cukup perhatikan persimpangan jalanan kota, dan kita akan mendapati betapa kontrasnya nasib pedagang asongan dan "manusia silver" dengan para eksekutif berkerah rapi di balik kaca gelap mobil-mobil mewah ber-AC. Dalam 30 detik lampu merah itu, dua dunia bertabrakan.
Secara statistik, kondisinya lebih buruk lagi.
Meskipun pertumbuhan ekonomi relatif stabil dan tinggi, ditambah angka kemiskinan ekstrem yang terus menurun, ketimpangan kekayaan di Indonesia justru meningkat dalam seperempat abad terakhir. Koefisien Gini (pengukur ketimpangan pendapatan) terus melonjak dengan sedikit penurunan pada 2007-2008, kemudian melandai sejak 2015. Namun, penurunan ini tetap tidak sebanding dengan kenaikan drastis sebelumnya, menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan ketimpangan tertinggi di Asia.
Pada tahun 2016, 1% orang terkaya di Indonesia menguasai hampir setengah kekayaan nasional. Laporan Oxfam tahun berikutnya mengungkap bahwa bunga kekayaan harian seorang miliarder di Indonesia bisa mencapai seribu kali lipat pengeluaran tahunan orang termiskin. Global Inequality Report 2022 bahkan mencatat Indonesia sebagai negara dengan ketimpangan kekayaan terburuk keenam sedunia, di mana harta empat orang terkaya menyamai gabungan kekayaan 100 juta penduduk termiskin.
Hasil itu tidak berarti produktivitas ekonomi Indonesia berhenti meningkat; sebaliknya, porsi peningkatan tersebut semakin sedikit mengalir ke bawah. Pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati oleh segelintir elite saja, di mana beberapa studi menunjukkan bahwa 0,1% hingga 0,01% orang di puncak piramida mencaplok porsi terbesar kue pembangunan.
Pertanyaannya, haruskah kita mengkhawatirkan kondisi tersebut? Jika angka kemiskinan ekstrem terus menurun dan pertumbuhan ekonomi relatif stabil atau bahkan meningkat, tidakkah itu cukup? Jika setiap orang memiliki bakat dan kapabilitas yang beragam dan karenanya penghasilan yang berbeda-beda, bukankah ketidaksetaraan kekayaan niscaya terjadi? Lantas, mengapa harus repot-repot mengkhawatirkan sesuatu yang tidak terhindarkan?
Kemiskinan jelas mengkhawatirkan, begitu pula ketidaksetaraan
Orang awam biasanya menyamakan ketidaksetaraan dengan ketidakadilan. Namun, tidak semua politisi dan peneliti menghiraukan kesenjangan pendapatan atau kekayaan. Salah satu argumen mengatakan bahwa ketimpangan pendapatan bisa dianggap "adil" bila itu tercipta dari kesetaraan kesempatan. Dengan kata lain, masalah utamanya bukanlah selisih kekayaan itu sendiri, melainkan ketidakadilan akses untuk meraih sukses.
Bayangkan sebuah dunia meritokrasi di mana setiap orang mendapatkan imbalan yang setimpal dengan jerih payahnya. Karena setiap orang berbeda, perbedaan penghasilan dan kekayaan niscaya terjadi. Tidak masuk akal jika atlet elite seperti Lionel Messi menerima pendapatan yang sama dengan pegawai kantor biasa. Menurut logika ini, ketidaksetaraan kekayaan tidak perlu dikhawatirkan selama semua orang punya kesempatan meraih potensi tertinggi mereka.
Sementara itu, argumen lainnya mengatakan bahwa masalah sebenarnya bukanlah kesenjangan, melainkan kemiskinan. Filsuf Harry Frankfurt, misalnya, tidak peduli apakah beberapa orang memiliki lebih banyak daripada yang lain. Menurutnya, kita seharusnya lebih peduli pada orang-orang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar mereka. Biarkan porsi pendapatan 1% teratas terus membengkak. Yang penting adalah bagaimana orang miskin dapat keluar dari kemiskinannya.
Meskipun ada benarnya, kedua argumen tersebut melewatkan hubungan penting antara kesenjangan kekayaan, ketidaksetaraan peluang, dan kemiskinan.
Pertama-tama, ketimpangan kekayaan justru merusak kesetaraan kesempatan. Ketika jurang antara si kaya dan si miskin melebar, keluarga berpenghasilan rendah memiliki kemampuan yang lebih kecil dibandingkan keluarga kaya dalam menyediakan investasi penting bagi anak-anak mereka, misalnya akses terhadap teknologi dan sumber pembelajaran berkualitas (guru, buku, atau apa pun).