Universitas Harvard meraih kemenangan sementara atas Donald Trump minggu lalu, setelah seorang hakim federal memblok upaya pemerintahan Trump untuk mencabut hak Harvard dalam menerima mahasiswa luar negeri. Di satu sisi, perpanjangan ini membuka jalan bagi mahasiswa baru dari luar negeri untuk melanjutkan rencana studi mereka.
Namun di sisi lain, bahkan jika pengadilan terus memblokir manuver tersebut, hal itu sudah terlanjur menanamkan ketidakamanan dan ketidakpastian di dunia pendidikan tinggi Amerika Serikat. Selama ada kemungkinan dideportasi oleh rezim yang secara terbuka tidak menyukai mahasiswa asing, sulit bagi siapa pun untuk belajar di sana dengan tenteram, sekalipun yang bersangkutan kelak menjadi ratu Belgia.
Pelarangan menerima mahasiswa asing hanyalah satu di antara sekian serangan Trump kepada Harvard, bahkan itu hanyalah bagian kecil dari gelombang serangan Trump terhadap universitas-universitas elite, yang pada dasarnya juga tidak terpisahkan dari aneka serangan pemerintah federal terhadap institusi-institusi lainnya, mulai dari firma hukum hingga outlet media arus utama.
Serangan-serangan tersebut memiliki berbagai kedok, tetapi semuanya sejalan dengan agenda yang diperjuangkan oleh para aktivis dan politisi sayap kanan ekstrem seperti Trump. Mereka meyakini bahwa cara terbaik untuk memperkuat kekuatan budaya sayap kanan adalah dengan memaksa institusi-institusi liberal dan sayap kiri untuk tunduk. Jika gagal menundukkannya, mereka akan menghancurkannya.
Dan Harvard menolak untuk tunduk.
Banyak pengamat yang melihat keputusan pemerintahan Trump terhadap Harvard lebih sebagai tindakan perang daripada kebijakan. Majalah Chronicle bahkan melabelinya sebagai "perang terpenting antara kekuasaan negara dan otonomi perguruan tinggi" dalam setidaknya dua abad terakhir. Pertanyaannya, bisakah pemerintah mengambil kendali atas sebuah institusi pendidikan tinggi, apalagi Harvard merupakan kampus swasta?
Latar belakang konflik dan manuver-manuver Trump
Mengapa Trump menyerang Harvard? Jelas tidak sesederhana dendam karena Trump pernah ditolak masuk ke universitas bergengsi tersebut. Trump telah membantah tuduhan ini di Truth Social, platform media sosial yang diluncurkan oleh perusahaannya sendiri, dengan mengklaim bahwa dia tidak pernah mendaftar ke Harvard.
Sebaliknya, Trump selalu bangga menampilkan dirinya sebagai lulusan Sekolah Wharton Universitas Pennsylvania (meskipun, menurut kesaksian salah satu keponakannya, Trump menyuruh orang lain untuk mengikuti ujian SAT-nya, tes standar yang harus dilalui oleh mahasiswa-mahasiswa baru di Amerika Serikat).
Tidak, tuduhan utama Trump adalah bahwa Harvard (dan kampus-kampus elite lainnya) telah menjadi sarang anti-semitisme, terutama sejak dimulainya perang Gaza pada 7 Oktober 2023 lalu. Gedung Putih mengutip kekhawatiran mahasiswa Yahudi yang mengaku diintimidasi selama protes pro-Palestina di berbagai universitas Amerika, termasuk (atau bahkan terutama) Harvard. Mereka mengklaim ingin melindungi hak sipil dan kebebasan berbicara.
Perlu diakui, perang Gaza dan gerakan pro-Palestina yang menyertainya memang telah menjadi isu sentral di kampus-kampus elite AS. Banyak mahasiswa dan anggota fakultas yang mendukung gerakan tersebut, tetapi pihak lainnya (termasuk donatur kampus) menentangnya. Saking memecah belahnya, Kongres (parlemen Amerika Serikat) sampai-sampai harus ikut turun tangan dan pada gilirannya melatarbelakangi pengunduran diri beberapa presiden kampus elite AS, termasuk Harvard.
Pada Desember 2023, Claudine Gay, rektor Harvard saat itu, kesulitan menjawab pertanyaan Kongres terkait apakah seruan "genosida terhadap Yahudi" melanggar kode etik mahasiswa tentang perundungan dan pelecehan. Dr. Gay menjawab bahwa hal itu tergantung konteksnya, yang kemudian memicu badai kritik dan tuntutan untuk mundur. Pada akhirnya, Dr. Gay benar-benar mengundurkan diri.
Selain tuduhan anti-semitisme, pemerintahan Trump juga menuduh Harvard telah menerima terlalu banyak mahasiswa asing, memiliki keterkaitan keuangan dengan Tiongkok, dan yang paling frontal, bertanggung jawab atas kebangkitan politik sayap kiri di Amerika Serikat, salah satunya dapat dilihat dari kurangnya kaum konservatif di antara jajaran profesor Harvard.
"Harvard sudah mempekerjakan hampir semua orang gila, Radikal Kiri, idiot, dan 'otak burung' yang hanya mampu mengajarkan KEGAGALAN kepada para mahasiswa," tulis Trump, seraya menambahkan bahwa "Harvard adalah lelucon, mengajarkan kebencian dan kebodohan, dan tidak boleh lagi menerima dana Federal". (Jika Anda terkejut tentang betapa toxic-nya kata-kata Trump, Anda jelas belum mengenalnya.)
Pada akhirnya, dana riset Harvard yang berasal dari pemerintah federal benar-benar dibekukan.
Mari kita mundur sejenak ke 11 April 2025. Saat itu, Satgas Pemberantasan Anti-Semitisme yang dibentuk oleh pemerintahan Trump mengirimkan surat kepada Harvard yang berisi daftar 10 tuntutan, di antaranya larangan menerima mahasiswa yang "bermusuhan dengan nilai-nilai Amerika" serta audit ideologi politik mahasiswa dan staf pengajar untuk memastikan "keragaman pandangan".
Harvard mengumumkan tiga hari kemudian bahwa mereka tidak akan mematuhi tuntutan pemerintah. Meskipun beberapa anggota pemerintahan mengklaim surat 11 April dikirim karena kesalahan, tindakan mereka menunjukkan hal sebaliknya. Alih-alih menarik kembali suratnya, pemerintah malah menuntut Harvard dengan lebih keras.
Kurang dari tujuh jam setelah pernyataan resmi Harvard, pemerintah federal mengumumkan pembekuan lebih dari 2,2 miliar dolar AS atau lebih dari 35 triliun rupiah berupa hibah untuk dan kontrak dengan Harvard, yang sebagian besar mendanai penelitian ilmiah dan medis. Jumlah ini kemudian meningkat menjadi total 3 miliar dolar AS, termasuk pembekuan sekitar 500 hibah untuk lembaga-lembaga yang berafiliasi dengan Harvard dan pembatalan kontrak yang tersisa antara lembaga federal dan Harvard.
Gedung Putih bahkan mendiskualifikasi Harvard dari hibah federal di masa depan.
Seolah belum cukup, Trump juga mengancam akan mencabut status bebas pajak Harvard, yang berisiko merugikan Harvard ratusan juta dolar setiap tahunnya. Hal ini diperparah dengan rancangan undang-undang terbaru usulan pemerintahan Trump yang didesain untuk secara drastis meningkatkan pajak Harvard dan perguruan tinggi elite lainnya atas keuntungan dari dana abadi (endowment) mereka yang sangat besar.
Berikutnya, pada 22 Mei 2025, pemerintahan Trump mencabut sertifikasi Harvard untuk menerima mahasiswa internasional, yang seketika membahayakan visa lebih dari 6.500 mahasiswa luar negeri atau sekitar seperempat dari populasi Harvard. Mereka sangat penting bagi Harvard, baik secara akademik maupun keuangan.
Menteri Keamanan Dalam Negeri Kristi Noem secara terang-terangan mengklaim manuver itu sebagai "peringatan bagi semua universitas dan institusi akademik di seluruh negeri" yang enggan mematuhi permintaan pemerintah. Sementara itu, ribuan mahasiswa luar negeri hanya bisa meringkuk di laboratorium dan kamar asrama, menanti cemas akan ketidakjelasan nasib mereka di kampus elite yang mereka impi-impikan.
Serangan Trump adalah bagian dari strategi sayap kanan
Mari kita berusaha untuk adil. Pemerintah federal tidak bangun tiba-tiba pada suatu hari dan memutuskan untuk menyerang Harvard tanpa alasan. Bahkan jika tindakan pemerintahan Trump sangat ilegal dan mengancam otonomi universitas, masalah anti-semitisme di Harvard dan perguruan tinggi elite lainnya memang telah dikeluhkan secara luas sejak perang Gaza meletus kembali.
Survei kampus FIRE menemukan bahwa 67 persen mahasiswa Harvard kesulitan untuk berterus-terang di depan publik tentang konflik Israel-Palestina, bahkan survei lainnya pada tahun 2024 mencatat peningkatan menjadi 84 persen. Tidak mengherankan bila para pengkritik Harvard melabeli kampus tersebut sebagai "sarangnya kebencian dan pelecehan anti-Yahudi", "tempat kerusuhan ekstremis", dan "pos terdepan Islamis".
Beberapa profesor Harvard sendiri, misalnya Steven Pinker, mengakui bahwa Harvard tidak lagi nyaman dan aman bagi mahasiswa (khususnya) Yahudi, bahkan Presiden Harvard Alan Harber, seorang Yahudi dan warga AS, sama sekali tidak menentang adanya masalah tersebut di kampus dan mengklaim telah melakukan banyak cara untuk menanggulanginya.
Terlepas dari itu, pendirian Pinker dan Harber tetap sama: semua "kebijakan" Trump telah melampaui masalah anti-semitisme di Harvard. Tidak ada hubungannya. Harvard menggarisbawahi poin ini secara gamblang dalam gugatannya: "Pemerintah belum (atau memang tidak dapat) mengidentifikasi hubungan rasional antara kekhawatiran tentang anti-semitisme dengan riset medis, ilmiah, teknologi, dan riset lainnya yang dibekuk."
Kita mungkin dapat menemukan titik cerah bila melihat serangan Trump dalam kerangka sayap kanan secara keseluruhan. Banyak kalangan kanan AS yang mengidentifikasi kampus sebagai sarang indoktrinasi liberal, baik dalam bentuk radikalisme anti-perang dari sayap kiri di era 1960-an, "political correctness" tahun 1990-an, gerakan anti-kapitalis Occupy Wall Street tahun 2000-an, maupun gerakan Black Lives Matter dan anti-Israel dalam beberapa tahun terakhir.
Kembali pada tahun 2021, blogger sayap kanan ekstrem Curtis Yarvin menyerukan dalam sebuah podcast agar demokrasi Amerika digantikan dengan kediktatoran. Ketika lawan bicaranya menjawab bahwa upaya semacam itu akan gagal karena media dan akademi elite Amerika, seperti The New York Times dan Harvard, akan menjegalnya. "Betul," sahut Yarvin. "Itulah sebabnya Anda tidak bisa membiarkan Harvard atau The New York Times tetap hidup setelah awal April."
Trump tampaknya menyerap seruan Yarvin kata per kata.
Sebagai kelompok yang mencintai "stabilitas", kaum konservatif seperti Trump menganggap orang-orang kiri liberal sebagai perusuh yang harus ditundukkan, bahkan jika itu berarti harus menghancurkan perguruan tinggi yang selama ini menjadi tulang punggung soft power AS di panggung internasional. Inilah mengapa Trump tidak segan menggunakan kekuasaan negara untuk memaksa kepatuhan atas pandangan kelompoknya.
Pemerintahan Trump secara harfiah menyuruh Harvard untuk mempekerjakan profesor tertentu dan menerima mahasiswa tertentu, mendesain kurikulum berdasarkan preferensi mereka sendiri, dan mempromosikan secara intens narasi versi pemerintah. Greg Lukianoff, seorang aktivis senior AS, membingkainya sebagai "salah satu hal paling mengerikan yang pernah saya lihat dalam karier saya selama hampir 25 tahun membela kebebasan berekspresi di kampus".
Jadi, meskipun pemerintahan Trump kerap terlihat impulsif, tindakan mereka dapat dilihat sebagai bagian dari strategi besar Trump untuk menjadikan perguruan tinggi elite AS lebih ramah terhadap kaum konservatif, dan dengan cara ini menghancurkan pusat-pusat kekuatan institusional sayap kiri (media, firma hukum, dan universitas) untuk menegaskan dominasi dan kontrol.
Di era Trump 2.0 ini, hal-hal yang tadinya tidak terpikirkan terjadi setiap hari, dan sebagian besar perintahnya merupakan upaya memperlebar bola penghancur sayap kiri, di samping menggusarkan basis pendukungnya dan mengalihkan perhatian mereka dari ekonomi yang sedang melemah. Kongres belum berbuat banyak untuk menghentikannya, sampai baru-baru ini muncul wacana pemakzulan (lagi).
Harvard belajar dari (kegagalan) Columbia
Harvard bukanlah target pertama Trump, meskipun Harvard mungkin merupakan target utamanya. Sebelumnya, pemerintahan Trump telah menunda hibah penelitian Universitas Princeton dan Pennsylvania senilai ratusan juta dolar. Yang paling mencuri perhatian adalah pemangkasan dana federal sebesar 400 juta dolar AS (sekitar 6,5 triliun rupiah) untuk Universitas Columbia.
Alih-alih melawan, Columbia memilih tunduk pada pemerintah dengan beberapa persyaratan minor. Hasilnya, mereka melarang demonstran mengenakan masker guna memudahkan identifikasi yang dianggap perusuh, serta menempatkan seluruh departemen dalam "pengawasan akademik". Secara khusus, Columbia memosisikan Departemen Studi Timur Tengah, Asia Selatan dan Afrika dan Pusat Studi Palestina di bawah otoritas wakil rektor senior yang baru.
Namun, Columbia tidak memperoleh hak-haknya kembali. Hibah riset federal sampai saat ini belum dipulihkan, dan pada saat yang sama reputasi mentereng mereka terlanjur hancur lebur karena mereka dianggap telah mengorbankan integritas dan otonomi akademik untuk mempertahankan akses pada kue negara. Sebaliknya, sadar bahwa Columbia sudah "menyerahkan diri", Trump dengan entengnya menuntut lebih banyak dari Columbia.
Jika Anda menjadi presiden Harvard, berbekal pelajaran dari Columbia yang telah berusaha bernegosiasi tetapi pemerintah tidak memenuhi janji-janjinya dan justru hanya menghasilkan lebih banyak tuntutan yang ditumpuk, apa yang akan Anda lakukan? Dalam situasi sulit ini, opsi yang tampaknya paling masuk akal adalah menolak tunduk dan berbalik melawan.
Dan memang itulah opsi yang diambil Presiden Harvard Alan Harber.
Trump mencoba mengintimidasi Harvard dengan satu-satunya kekuatan yang (pernah) dia miliki: uang. Namun, Harvard tidak bisa diintimidasi dengan uang karena mereka bukanlah kampus miskin. Bahkan jika mereka tetap kehilangan 3 miliar dolar AS, Harvard melihat itu masih dapat ditoleransi daripada kehilangan integritas dan kredibilitas, seperti yang terjadi pada Columbia.
Harvard menyadari bahwa pemerintahan Trump, terlepas dari klaim apa pun yang mereka perjuangkan, sebenarnya tidak berusaha mereformasi universitas elite AS; mereka berusaha menghancurkannya. Inilah mengapa perlawanan Harvard begitu penting. Jika kampus sebesar Harvard saja tidak mampu melawan, apa kabar institusi pendidikan lainnya yang lebih kecil dari Harvard?
Berkat uang dan popularitasnya, Trump tampaknya percaya diri dapat merebut hati publik, baik Amerika maupun dunia internasional. Kelas pekerja Amerika, yang dulu menjadi tulang punggungnya dalam memenangkan pilpres, mungkin tidak akan keberatan melihat universitas elite menderita di bawah kekuasaan Trump. Harvard tidak memberi makan kelas pekerja (secara langsung).
Namun, Trump mungkin lupa bahwa pertarungannya melawan Harvard tidak sama dengan pemilihan presiden.
Kemenangan Trump atas Harvard, sebagian besar, tidak ditentukan oleh suara puluhan juta orang Amerika, melainkan segelintir elite yang bertarung di ruang pengadilan. Dan Harvard telah memenangkan satu di antaranya, mungkin lagi dan lagi. Bahkan jika entah bagaimana mereka kalah, suatu hari nanti, Harvard mungkin akan berterima kasih pada Trump karena telah memoles reputasinya.
Sementara perguruan tinggi elite seperti Columbia tunduk patuh di hadapan Trump, Harvard mendapat kesempatan untuk menampilkan diri sebagai institusi yang teguh pada prinsip dan nilai-nilai mereka demi melindungi kebebasan akademik. Bisa dibilang, jika memperjuangkan kebebasan akademik hanya menghabiskan tiga miliar dolar AS bagi Harvard, itu mungkin akan terbukti menjadi kesepakatan yang menguntungkan dalam jangka panjang.
Apa pun serangannya, selama Harvard masih melawan, Trump secara tidak langsung malah memproduksi satu generasi pemimpin dan akademisi masa depan yang semakin bermimpi masuk ke kampus tersebut.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI