Menteri Keamanan Dalam Negeri Kristi Noem secara terang-terangan mengklaim manuver itu sebagai "peringatan bagi semua universitas dan institusi akademik di seluruh negeri" yang enggan mematuhi permintaan pemerintah. Sementara itu, ribuan mahasiswa luar negeri hanya bisa meringkuk di laboratorium dan kamar asrama, menanti cemas akan ketidakjelasan nasib mereka di kampus elite yang mereka impi-impikan.
Serangan Trump adalah bagian dari strategi sayap kanan
Mari kita berusaha untuk adil. Pemerintah federal tidak bangun tiba-tiba pada suatu hari dan memutuskan untuk menyerang Harvard tanpa alasan. Bahkan jika tindakan pemerintahan Trump sangat ilegal dan mengancam otonomi universitas, masalah anti-semitisme di Harvard dan perguruan tinggi elite lainnya memang telah dikeluhkan secara luas sejak perang Gaza meletus kembali.
Survei kampus FIRE menemukan bahwa 67 persen mahasiswa Harvard kesulitan untuk berterus-terang di depan publik tentang konflik Israel-Palestina, bahkan survei lainnya pada tahun 2024 mencatat peningkatan menjadi 84 persen. Tidak mengherankan bila para pengkritik Harvard melabeli kampus tersebut sebagai "sarangnya kebencian dan pelecehan anti-Yahudi", "tempat kerusuhan ekstremis", dan "pos terdepan Islamis".
Beberapa profesor Harvard sendiri, misalnya Steven Pinker, mengakui bahwa Harvard tidak lagi nyaman dan aman bagi mahasiswa (khususnya) Yahudi, bahkan Presiden Harvard Alan Harber, seorang Yahudi dan warga AS, sama sekali tidak menentang adanya masalah tersebut di kampus dan mengklaim telah melakukan banyak cara untuk menanggulanginya.
Terlepas dari itu, pendirian Pinker dan Harber tetap sama: semua "kebijakan" Trump telah melampaui masalah anti-semitisme di Harvard. Tidak ada hubungannya. Harvard menggarisbawahi poin ini secara gamblang dalam gugatannya: "Pemerintah belum (atau memang tidak dapat) mengidentifikasi hubungan rasional antara kekhawatiran tentang anti-semitisme dengan riset medis, ilmiah, teknologi, dan riset lainnya yang dibekuk."
Kita mungkin dapat menemukan titik cerah bila melihat serangan Trump dalam kerangka sayap kanan secara keseluruhan. Banyak kalangan kanan AS yang mengidentifikasi kampus sebagai sarang indoktrinasi liberal, baik dalam bentuk radikalisme anti-perang dari sayap kiri di era 1960-an, "political correctness" tahun 1990-an, gerakan anti-kapitalis Occupy Wall Street tahun 2000-an, maupun gerakan Black Lives Matter dan anti-Israel dalam beberapa tahun terakhir.
Kembali pada tahun 2021, blogger sayap kanan ekstrem Curtis Yarvin menyerukan dalam sebuah podcast agar demokrasi Amerika digantikan dengan kediktatoran. Ketika lawan bicaranya menjawab bahwa upaya semacam itu akan gagal karena media dan akademi elite Amerika, seperti The New York Times dan Harvard, akan menjegalnya. "Betul," sahut Yarvin. "Itulah sebabnya Anda tidak bisa membiarkan Harvard atau The New York Times tetap hidup setelah awal April."
Trump tampaknya menyerap seruan Yarvin kata per kata.
Sebagai kelompok yang mencintai "stabilitas", kaum konservatif seperti Trump menganggap orang-orang kiri liberal sebagai perusuh yang harus ditundukkan, bahkan jika itu berarti harus menghancurkan perguruan tinggi yang selama ini menjadi tulang punggung soft power AS di panggung internasional. Inilah mengapa Trump tidak segan menggunakan kekuasaan negara untuk memaksa kepatuhan atas pandangan kelompoknya.
Pemerintahan Trump secara harfiah menyuruh Harvard untuk mempekerjakan profesor tertentu dan menerima mahasiswa tertentu, mendesain kurikulum berdasarkan preferensi mereka sendiri, dan mempromosikan secara intens narasi versi pemerintah. Greg Lukianoff, seorang aktivis senior AS, membingkainya sebagai "salah satu hal paling mengerikan yang pernah saya lihat dalam karier saya selama hampir 25 tahun membela kebebasan berekspresi di kampus".
Jadi, meskipun pemerintahan Trump kerap terlihat impulsif, tindakan mereka dapat dilihat sebagai bagian dari strategi besar Trump untuk menjadikan perguruan tinggi elite AS lebih ramah terhadap kaum konservatif, dan dengan cara ini menghancurkan pusat-pusat kekuatan institusional sayap kiri (media, firma hukum, dan universitas) untuk menegaskan dominasi dan kontrol.