Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Fate seemed to be toying us with jokes that were really not funny.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Demokratisasi Pendidikan berlandaskan Keadilan Sosial: Sebuah Jalan Menuju Merdeka Belajar

12 Mei 2022   09:33 Diperbarui: 12 Mei 2022   23:29 759
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perspektif pertama berimplikasi pada perancangan reformasi nasional melalui kebijakan yang efektif untuk meminimalkan angka putus sekolah dan memberikan kesempatan belajar bagi semua orang. Dalam hal ini, otoritas harus bersedia menyediakan standar minimum dasar pendidikan bagi masyarakat. 

Sedangkan perspektif kedua menghendaki adanya kepastian bahwa kondisi pribadi dan sosial tidak boleh menjadi hambatan bagi keberhasilan akademik pelajar (Field dkk., 2007). 

Hasilnya, pemerataan efektivitas dalam pendidikan menuntut hasil belajar hanya bergantung pada upaya dan kapasitas mereka sendiri, dan bukan pada aneka hal yang tidak dapat diintervensi (gender, asal etnis, tingkat sosial-ekonomi keluarga).

Oleh karena itu, agenda utama kita bukan lagi semata-mata pemerataan sebagai inklusivitas (equality), melainkan pemerataan sebagai keadilan (equity). Kesetaraan formal tidak lagi dinilai cukup; fokus bergeser ke keseimbangan kinerja yang membuka kesempatan untuk mencapai hasil yang sama. 

Hal ini mengarahkan kita pada pemeriksaan apakah kondisi sekolah menawarkan kesempatan yang sama ketika dihadapkan pada perbedaan latar belakang pelajar untuk mencapai tingkat hasil (output) yang sama. 

Beberapa dekade penelitian sosiologis dalam pendidikan telah menegaskan bahwa hanya menghindari diskriminasi saja tidaklah cukup untuk mendorong pelajar supaya mencapai hasil yang sama, sebab mereka alamiahnya memiliki awal yang tidak sama akibat kesenjangan sosial-ekonomi (Branden dkk., 2011, hlm. 25). 


Temuan tersebut semakin kentara apabila kita mengaitkannya dengan konteks hari ini, di mana wilayah pedalaman (misalnya, Nagari Sisawah Kabupaten Sijunjung) tengah mengalami kesulitan perihal sarana dan prasarana pembelajaran daring (Siska & Rudagi, 2021). 

Diperparah dengan efek domino dari penurunan status ekonomi jutaan keluarga akibat pandemi, disparitas pendidikan antara wilayah-wilayah pinggiran dengan pusat perkotaan tampak semakin mencolok (Santosa, 2020).

Inilah mengapa pemerataan (equity) perlu dibedakan dari kesetaraan (equality): pemerataan menyiratkan adanya kontras antara ketidaksetaraan yang adil dan tidak adil. 

Pemerataan sama dengan memperlakukan aktor dan lembaga pendidikan secara "tidak setara" (baca: proporsional) karena mereka memang tidak setara---terutama karena mereka mengalami kondisi awal yang berbeda. Dengan kata lain, perlakuan yang setara secara formal di sekolah akan menjadi tidak adil selama ada ketidaksetaraan objektif di lingkup sosial. 

Karenanya, dalam sistem pendidikan, "diskriminasi" sampai tingkat tertentu dapat dibenarkan untuk meratakan persaingan yang selama ini berjalan pincang, misalnya dengan mengalokasikan sumber daya yang lebih banyak kepada lembaga atau pelaku pendidikan tertentu berdasarkan rupa-rupa pertimbangan.[1]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun