Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Fate seemed to be toying us with jokes that were really not funny.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Relevansi Sumpah Pemuda dalam Kengerian Era Post-truth

28 Oktober 2021   07:53 Diperbarui: 29 Oktober 2021   08:25 898
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 Sebuah mural yang membawa pesan damai di tengah keberagaman masyarakat yang saat ini rentan dengan isu SARA dari media sosial.(KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA)

Sejarah adalah catatan pengalaman. Sejarah bukan sekadar pengetahuan tentang masa lalu, melainkan juga rekaman perjalanan manusia yang memiliki letupan makna indah dan aktual, terlepas dari keterpurukan dan kejatuhan.

Jika sejarah adalah perkara makna, maka sejarah pun bersifat "menegur" seperti seorang kakek yang menceritakan serangkaian kisah berharga kepada cucunya.

Sumpah Pemuda merupakan salah satu titik monumental dalam sejarah Indonesia yang merajut makna persatuan dan kegigihan. "Produk" dari Kongres Pemuda II itu dipercaya sebagai tonggak sejarah kita dalam mengawali kesadaran kebangsaan.

Sumpah Pemuda menjadi kisah penuh lobi-lobi rasional politis tingkat tinggi di antara pemuda Indonesia untuk menguraikan identitas nasionalnya.

Ini merupakan sesuatu yang luar biasa, karena mereka belum memiliki gambaran sebagai bangsa dan belum berada pada wilayah konteks negara-bangsa. Tapi toh kenyataannya, mereka telah berani dan berhasil secara gemilang mendefinisikan identitas nasional.

Para deklarator "satu bangsa" ini mengukuhkan perjuangannya sebagai api mercusuar abadi yang membimbing perjuangan masa depan Indonesia hingga lenyapnya zaman. Sumpah Pemuda muncul sebagai pemantik bagi bara api yang telah lama kehilangan jati dirinya.

Saya pikir itulah bagian dari momen "pencerahan" bangsa kita. Jika kita mengenal "Aufklarung" (Abad Pencerahan) di Eropa dengan semboyannya "Sapere Aude", maka kita memiliki Sumpah Pemuda sebagai momentum "Sapere Aude-nya" Indonesia.

Sapere Aude dicetuskan oleh Immanuel Kant yang merujuk pada tindakan atau gerakan keberanian untuk berpikir sendiri. "Berpikir sendiri" di sini maksudnya berani untuk keluar dari inferioritas, ketidakdewasaan, dan kepicikan diri sendiri.

Kalimat-kalimat dalam Sumpah Pemuda melukiskan pergumulan rasionalitas, politik, dan kultural sekaligus.

Mereka bukan saja telah menampilkan keberanian untuk berpikir sendiri, melepaskan diri dari keterkungkungan siasat kolonial, atau representasi dari perlawanan nasional.

Lebih dari itu, mereka juga telah berani menyeberangi lautan dan gunung penghalang sekat-sekat kesukuan agama, budaya, dan aneka dorongan primordialnya.

Jadi pikirkan sekali lagi bahwa mereka mendeklarasikan diri sebagai bangsa jauh sebelum Indonesia menjadi negara-bangsa. Itu seperti Anda berteriak di depan publik bahwa Anda merupakan anggota Kompasiana, jauh sebelum kelahiran dari Kompasiana itu sendiri.

Namun belakangan, Sumpah Pemuda tidak lagi dimaknai sebagai sesuatu yang berharga, melainkan sekadar peringatan tahunan untuk diceritakan pada anak-anak bahwa suatu masa pernah terjadi keberanian pemuda Indonesia dalam melawan penjajah.

Sumpah Pemuda pun tampil seperti aktor papan atas yang terlanjur tua dan kehilangan banyak tepuk tangan. Itu mendorong saya untuk mengajukan satu pertanyaan besar terkait eksistensi Sumpah Pemuda: Masih relevankah?

Milenial dan Post-truth

Sumpah Pemuda bukan sekadar ingatan masa lalu, melainkan catatan lampau yang merajut makna indah nan anggun | Ilustrasi via freepik.com
Sumpah Pemuda bukan sekadar ingatan masa lalu, melainkan catatan lampau yang merajut makna indah nan anggun | Ilustrasi via freepik.com

Sumpah Pemuda, secara esensial, membawa semangat "Sapere Aude" bagi kita yang hidup di tengah arogansi teknologi. Jika mulanya semboyan tersebut berada dalam konteks "keterbatasan pengetahuan", maka kita berada di kondisi sebaliknya.

Kita terjebak dalam Paradoks Informasi di mana semakin luas akses kita terhadap informasi, justru membuat kita semakin rentan untuk terjebak dalam disinformasi. Opini menyamar menjadi fakta, dan fakta itu sendiri melebur hingga tercecer entah ke mana.

Gelombang informasi yang kita miliki sebenarnya berpotensi menjadikan kita sebagai peradaban yang paling "maju", tetapi kasus yang sama juga sangat mungkin untuk menggiring kita ke dalam jurang gelap peradaban yang belum pernah ditempati siapa pun.

Selamat datang di era Post-truth!

Kita berada pada masa di mana "fakta objektif" dikubur dari publik oleh longsoran informasi yang memikat emosi dan keyakinan pribadi. Kita lebih suka diberitahu bahwa es krim itu enak daripada mengakui potensinya untuk membuat kita obesitas.

Retorika yang berkelok-kelok dirancang untuk menyihir serta memperdaya kita, dan itulah mengapa semua kebohongan yang kita dengar terkesan memesona.

Mereka menekankan bahwa kebohongan politik itu adalah jahat, tetapi mereka pun membumbui cerita mereka dengan berita palsu dan berbagai "fakta alternatif". Gelar akademik yang tinggi dijadikan bungkus kepalsuan, dan lalu kita pun mengaguminya.

Dalam kata-kata Paul Goebbels, "Kebohongan yang diceritakan satu kali adalah kebohongan, tapi kebohongan yang diceritakan ribuan kali akan menjadi kebenaran."

Harus diakui bahwa kemampuan kritis kita menurun: sulit untuk membedakan antara apa yang baik dan apa yang benar. Kita meluncur, hampir tanpa menyadarinya, kembali ke masa penuh takhayul dan kegelapan.

Kita ditantang untuk menghadapi serbuan informasi yang sangat ambigu kebenarannya. Kita dibuat ragu akan pengertian kebenaran, dan kerap kali merasa takut terhadap pandangan yang berbeda dengan kita.

Orang-orang menjadi lebih suka mendengar gema suaranya sendiri daripada memedulikan pendapat lainnya yang meluaskan perspektif. Kebenaran menjadi sedemikian elastis keabsahannya karena banyak disesuaikan dengan kepentingan masing-masing.

Sekarang jika saya melaporkan sebuah berita buruk bahwa seorang anak 14 tahun ditemukan meninggal di bawah jembatan selepas pulang divaksin, akankah Anda mempercayainya?

Beberapa orang akan (mutlak) menganggukkan kepala sehingga mereka merasa yakin untuk tidak pergi divaksin, dan mengatakannya ke muka publik bahwa vaksin itu berbahaya serta berpotensi "meracuni" mereka.

Kemudian beberapa hari kemudian, saya memberikan berita lanjutan bahwa setelah dilakukan autopsi yang panjang, anak tersebut meninggal karena dicekik oleh seseorang yang hingga sekarang belum diketahui identitasnya.

Akankah mereka menarik ucapannya dan mengatakan apa yang sesungguhnya terjadi? Sulit.

Sumpah Pemuda lahir dari pemberontakan menuju kebebasan dari siasat penjajah. Mereka tidak rela menjadi kambing hitam dari kelicikan penjajah dan memilih untuk menegaskan diri sebagai manusia Indonesia yang bernaung dalam kesatuan sebagai "bangsa".

Lantas beranikah kita untuk menelan ludah kita sendiri yang begitu pahit dan berancang-ancang meneriakkan kebenaran yang kerap kali berada di pihak minoritas? Bersediakah kita ditertawakan karena menjadi berbeda dari mayoritas?

Itulah semangat yang hendak disampaikan oleh para deklarator Sumpah Pemuda. Ikrar mereka merupakan kristalisasi kegigihan untuk menegaskan cita-cita berdirinya negara Indonesia.

Tapi karena lawan yang kita hadapi bukanlah penjajah asing, melainkan ego diri kita sendiri; bersediakah kita membawa semangat Sumpah Pemuda ke dalam keseharian kita yang selalu diselubungi penindasan dan kepalsuan?

Semangat Sapere Aude yang juga dibawa oleh Sumpah Pemuda patut menjadi cermin kita bersama tentang seberapa jauh kita mampu merangkul kebenaran secara mandiri dan terlepas dari dogma apa pun yang dipenuhi ranjau ganas.

Kita perlu berpikir mandiri secara kritis untuk menentukan sikap kita sendiri terhadap segala informasi yang ditawarkan pada kita.

Relevansi Sumpah Pemuda untuk kita sekarang ini adalah keberanian untuk berdiri teguh di spektrum kebenaran tanpa terombang-ambing oleh kepalsuan dan kesesatan yang enak didengar.

Tekad pemuda kala itu untuk menetapkan identitas nasional dapat kita maknai sebagai kesediaan kita dalam menunjukkan jati diri sebagai manusia sejati, dan sesungguhnya itu lebih dari cukup karena belakangan banyak orang hanya "mengaku-ngaku" sebagai manusia.

Nilai-nilai Sumpah Pemuda sebenarnya dapat membantu kita untuk bertahan dalam kengerian era post-truth, tapi toh kita memilih untuk mengabaikannya demi duduk nyaman bersama mayoritas dalam manipulasi yang begitu enak didengar.

Sebagian dari kita menyangkal pemikiran lain dan hanya gemar mendengarkan pendapat sendiri seperti berteriak di dalam gua yang kemudian bergema untuk dirinya sendiri. Mereka lebih mengagumi parasnya daripada menilik keindahan lainnya dalam selimut kosmos.

Kini sudah waktunya kita berani untuk memproduksi pemikiran sendiri dan bukannya sekadar mencerna dan menelan informasi. Pengetahuan melahirkan kekuatan bagi siapa pun yang memilikinya, dan itu cukup untuk membuatnya bahagia dalam keanggunan dunia ini.

Memproduksi pemikiran sendiri bukan berarti menciptakan kebohongan lainnya. Itu hanyalah indikasi sederhana bahwa kita mesti meningkatkan ketajaman intelektualitas kita, dan berarti senantiasa belajar lebih banyak dan lebih banyak lagi.

Mungkin dalam kebisingan yang tiada henti ini, kita didorong untuk belajar "tidak bicara", dan coba untuk mengutarakan makna lewat pikiran serta perasaan. Maka akankah dunia menjadi lebih baik dalam keheningan yang mendamaikan itu?

Sebenarnya post-truth juga merupakan anugerah tersendiri, karena sekarang informasi dan kebenaran apa pun tidak hanya dimiliki oleh otoritas tertentu, tetapi siapa pun dapat memilikinya di tengah akses yang serba terbuka dan bebas.

Tetapi ironi lainnya juga berjalan bersamaan: tidak setiap orang mampu bertanggung jawab terhadapnya. Barangkali paradoks pahit lainnya yang mesti kita telan adalah, semakin maju peradaban kita, semakin mungkin pertarungan ego menghancurkan semuanya.

Indonesia digadang-gadang akan mengalami bonus demografi pada tahun 2030. Apabila semangat Sapere Aude yang ditinggalkan Sumpah Pemuda tidak berkobar sejak hari ini, saya khawatir bahwa bonus demografi yang dimaksud hanyalah bumerang (lainnya) untuk kita.

"Berpikir besar, kemudian bertindak," ujar Tan Malaka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun