Mereka menekankan bahwa kebohongan politik itu adalah jahat, tetapi mereka pun membumbui cerita mereka dengan berita palsu dan berbagai "fakta alternatif". Gelar akademik yang tinggi dijadikan bungkus kepalsuan, dan lalu kita pun mengaguminya.
Dalam kata-kata Paul Goebbels, "Kebohongan yang diceritakan satu kali adalah kebohongan, tapi kebohongan yang diceritakan ribuan kali akan menjadi kebenaran."
Harus diakui bahwa kemampuan kritis kita menurun: sulit untuk membedakan antara apa yang baik dan apa yang benar. Kita meluncur, hampir tanpa menyadarinya, kembali ke masa penuh takhayul dan kegelapan.
Kita ditantang untuk menghadapi serbuan informasi yang sangat ambigu kebenarannya. Kita dibuat ragu akan pengertian kebenaran, dan kerap kali merasa takut terhadap pandangan yang berbeda dengan kita.
Orang-orang menjadi lebih suka mendengar gema suaranya sendiri daripada memedulikan pendapat lainnya yang meluaskan perspektif. Kebenaran menjadi sedemikian elastis keabsahannya karena banyak disesuaikan dengan kepentingan masing-masing.
Sekarang jika saya melaporkan sebuah berita buruk bahwa seorang anak 14 tahun ditemukan meninggal di bawah jembatan selepas pulang divaksin, akankah Anda mempercayainya?
Beberapa orang akan (mutlak) menganggukkan kepala sehingga mereka merasa yakin untuk tidak pergi divaksin, dan mengatakannya ke muka publik bahwa vaksin itu berbahaya serta berpotensi "meracuni" mereka.
Kemudian beberapa hari kemudian, saya memberikan berita lanjutan bahwa setelah dilakukan autopsi yang panjang, anak tersebut meninggal karena dicekik oleh seseorang yang hingga sekarang belum diketahui identitasnya.
Akankah mereka menarik ucapannya dan mengatakan apa yang sesungguhnya terjadi? Sulit.
Sumpah Pemuda lahir dari pemberontakan menuju kebebasan dari siasat penjajah. Mereka tidak rela menjadi kambing hitam dari kelicikan penjajah dan memilih untuk menegaskan diri sebagai manusia Indonesia yang bernaung dalam kesatuan sebagai "bangsa".
Lantas beranikah kita untuk menelan ludah kita sendiri yang begitu pahit dan berancang-ancang meneriakkan kebenaran yang kerap kali berada di pihak minoritas? Bersediakah kita ditertawakan karena menjadi berbeda dari mayoritas?