Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Fate seemed to be toying us with jokes that were really not funny.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Relevansi Sumpah Pemuda dalam Kengerian Era Post-truth

28 Oktober 2021   07:53 Diperbarui: 29 Oktober 2021   08:25 898
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 Sebuah mural yang membawa pesan damai di tengah keberagaman masyarakat yang saat ini rentan dengan isu SARA dari media sosial.(KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA)

Mereka menekankan bahwa kebohongan politik itu adalah jahat, tetapi mereka pun membumbui cerita mereka dengan berita palsu dan berbagai "fakta alternatif". Gelar akademik yang tinggi dijadikan bungkus kepalsuan, dan lalu kita pun mengaguminya.

Dalam kata-kata Paul Goebbels, "Kebohongan yang diceritakan satu kali adalah kebohongan, tapi kebohongan yang diceritakan ribuan kali akan menjadi kebenaran."

Harus diakui bahwa kemampuan kritis kita menurun: sulit untuk membedakan antara apa yang baik dan apa yang benar. Kita meluncur, hampir tanpa menyadarinya, kembali ke masa penuh takhayul dan kegelapan.

Kita ditantang untuk menghadapi serbuan informasi yang sangat ambigu kebenarannya. Kita dibuat ragu akan pengertian kebenaran, dan kerap kali merasa takut terhadap pandangan yang berbeda dengan kita.

Orang-orang menjadi lebih suka mendengar gema suaranya sendiri daripada memedulikan pendapat lainnya yang meluaskan perspektif. Kebenaran menjadi sedemikian elastis keabsahannya karena banyak disesuaikan dengan kepentingan masing-masing.

Sekarang jika saya melaporkan sebuah berita buruk bahwa seorang anak 14 tahun ditemukan meninggal di bawah jembatan selepas pulang divaksin, akankah Anda mempercayainya?

Beberapa orang akan (mutlak) menganggukkan kepala sehingga mereka merasa yakin untuk tidak pergi divaksin, dan mengatakannya ke muka publik bahwa vaksin itu berbahaya serta berpotensi "meracuni" mereka.

Kemudian beberapa hari kemudian, saya memberikan berita lanjutan bahwa setelah dilakukan autopsi yang panjang, anak tersebut meninggal karena dicekik oleh seseorang yang hingga sekarang belum diketahui identitasnya.

Akankah mereka menarik ucapannya dan mengatakan apa yang sesungguhnya terjadi? Sulit.

Sumpah Pemuda lahir dari pemberontakan menuju kebebasan dari siasat penjajah. Mereka tidak rela menjadi kambing hitam dari kelicikan penjajah dan memilih untuk menegaskan diri sebagai manusia Indonesia yang bernaung dalam kesatuan sebagai "bangsa".

Lantas beranikah kita untuk menelan ludah kita sendiri yang begitu pahit dan berancang-ancang meneriakkan kebenaran yang kerap kali berada di pihak minoritas? Bersediakah kita ditertawakan karena menjadi berbeda dari mayoritas?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun