Lebih dari itu, mereka juga telah berani menyeberangi lautan dan gunung penghalang sekat-sekat kesukuan agama, budaya, dan aneka dorongan primordialnya.
Jadi pikirkan sekali lagi bahwa mereka mendeklarasikan diri sebagai bangsa jauh sebelum Indonesia menjadi negara-bangsa. Itu seperti Anda berteriak di depan publik bahwa Anda merupakan anggota Kompasiana, jauh sebelum kelahiran dari Kompasiana itu sendiri.
Namun belakangan, Sumpah Pemuda tidak lagi dimaknai sebagai sesuatu yang berharga, melainkan sekadar peringatan tahunan untuk diceritakan pada anak-anak bahwa suatu masa pernah terjadi keberanian pemuda Indonesia dalam melawan penjajah.
Sumpah Pemuda pun tampil seperti aktor papan atas yang terlanjur tua dan kehilangan banyak tepuk tangan. Itu mendorong saya untuk mengajukan satu pertanyaan besar terkait eksistensi Sumpah Pemuda: Masih relevankah?
Milenial dan Post-truth
Sumpah Pemuda, secara esensial, membawa semangat "Sapere Aude" bagi kita yang hidup di tengah arogansi teknologi. Jika mulanya semboyan tersebut berada dalam konteks "keterbatasan pengetahuan", maka kita berada di kondisi sebaliknya.
Kita terjebak dalam Paradoks Informasi di mana semakin luas akses kita terhadap informasi, justru membuat kita semakin rentan untuk terjebak dalam disinformasi. Opini menyamar menjadi fakta, dan fakta itu sendiri melebur hingga tercecer entah ke mana.
Gelombang informasi yang kita miliki sebenarnya berpotensi menjadikan kita sebagai peradaban yang paling "maju", tetapi kasus yang sama juga sangat mungkin untuk menggiring kita ke dalam jurang gelap peradaban yang belum pernah ditempati siapa pun.
Selamat datang di era Post-truth!
Kita berada pada masa di mana "fakta objektif" dikubur dari publik oleh longsoran informasi yang memikat emosi dan keyakinan pribadi. Kita lebih suka diberitahu bahwa es krim itu enak daripada mengakui potensinya untuk membuat kita obesitas.
Retorika yang berkelok-kelok dirancang untuk menyihir serta memperdaya kita, dan itulah mengapa semua kebohongan yang kita dengar terkesan memesona.