Kita semua tahu itu, tapi kita tetap terjerumus ke sana.
8. Berusaha menjadi sempurna sepanjang waktu
Saya tidak pernah menjumpai seorang perfeksionis yang menjalani hidupnya dengan tenang. Barangkali kemungkinannya ada dua: kita mengharapkan kesempurnaan di dunia yang tidak sempurna, atau semua ini memang sudah berjalan sempurna.
Permasalahannya terletak pada definisi kita tentang "sempurna" itu sendiri. Jika kita mendefinisikan sempurna sebagai "tanpa celah atau keburukan", maka pengharapan akan kesempurnaan di dunia ini adalah sesuatu yang melelahkan.
Lagi-lagi paradoksnya adalah, tidak akan ada sesuatu yang disebut kebaikan tanpa adanya sesuatu yang disebut kejahatan. Kesempurnaan adalah mustahil tanpa adanya sesuatu yang disebut kecacatan.
Atau kita bayangkan bahwa "sempurna" itu ada dalam konteks puzzle. Perhatikan baik-baik bahwa sebuah puzzle dapat dikatakan "sempurna" jika semua bagian atau setiap keping dari puzzle tersebut berhasil saling melengkapi satu sama lain.
Dan bagaimana jika dunia ini kita ibaratkan seperti puzzle yang saling melengkapi antar kepingnya? Maka jelaslah bahwa kehidupan kita memang "sudah sempurna secara apa adanya".
9. Terikat oleh waktu
Memiliki tenggat waktu itu amatlah membantu, tetapi akan merumitkan hidup kita seandainya kita tidak bisa fleksibel terhadapnya. Jika kita terlalu kaku, kita akan sering merasa kecewa terhadap diri sendiri, dan itu melelahkan.
Satu-satunya tenggat waktu yang selalu mengejar kita adalah kematian. Tetapi bukan berarti kematian harus kita khawatirkan sepanjang waktu. Kita bisa memikirkannya sesekali sebagai pengingat bahwa suatu hari kita akan pergi, maka tidak boleh ada kesia-siaan lagi.
Dan karena kita tidak tahu kapan waktu kita akan habis, kita bisa menikmati apa pun yang kita punya saat ini juga ... sebelum semuanya hangus tanpa pernah kita nikmati sedikit pun.
Dalam kata-kata Marty Rubin, "Jika Anda menerima hidup sepenuhnya dengan segala ambiguitasnya, itu tidak rumit; itu hanya rumit jika Anda tidak menerimanya."