Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Fate seemed to be toying us with jokes that were really not funny.

Selanjutnya

Tutup

Gadget Artikel Utama

Inilah Mengapa Media Sosial Meningkatkan Rasa Kesepian

19 April 2021   14:15 Diperbarui: 20 April 2021   01:33 1214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media sosial dapat membuat kesepian (Sumber: Thinstock)

Di saat kita lebih mudah untuk terhubung dengan siapa pun lewat media sosial, kesepian malah menjadi masalah umum yang terus berkembang dengan ganas. Selamat datang di paradoks kesepian.

Kita telah menjalani interaksi sosial secara "gaib". Bahkan kita mendapatkan peluang besar untuk bisa lebih dihargai ketimbang masa sebelumnya.

Ketika Anda berulang tahun, akan ada 300 notifikasi ucapan selamat ulang tahun dari teman Facebook. Sebagian ada yang benar-benar senang karena Anda bertambah dewasa, tapi sebagian yang lain mungkin merasa senang karena artinya Anda akan cepat mati.

Kendati demikian, tetap saja, Anda tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa tidak ada seorang pun yang berada di samping Anda. Dan kenyataan itu berubah menjadi rasa sakit. Anda merasa kesepian.

Pada dasarnya, orang-orang yang kesepian akan beralih ke media sosial untuk memadamkan perasaan terisolasi mereka. Karenanya, kerinduan ini dapat menyebabkan mereka yang kesepian lebih mungkin untuk berlama-lama dengan perangkatnya.

Dan apa yang kita pelajari dari pandemi ini adalah pembatasan sosial membuat media sosial menjadi tempat pelarian untuk tetap terkoneksi dengan dunia luar.

Namun, salah satu ironi terbesar dari penggunaan media sosial adalah bahwa penggunaan platform yang berlebihan sebenarnya dapat menyebabkan kita merasa lebih terkucilkan daripada yang sebenarnya mungkin terjadi.

Sebuah penelitian terbaru menunjukkan bahwa seiring perkembangan media sosial yang pesat, telah terjadi wabah "epidemi kesepian" di mana-mana. Kesepian ternyata terbukti lebih dari sekadar bagian dari kondisi manusia.

Mengapa bisa demikian?

Bertanya tentang apakah benar media sosial membuat kita kesepian sama seperti bertanya apakah benar bahwa makan dapat membuat kita sakit. Keduanya terdengar lucu, tapi cukup untuk menggambarkan kenyataan yang anomali.

Jawabannya relatif, tentu saja. Tidak berlaku pada semua orang dan tidak berlaku selamanya.

Tapi, saya menemukan beberapa alasan mengapa media sosial dapat meningkatkan rasa kesepian.

Peralihan dunia

Sebagian dari kita cenderung memandang media sosial sebagai platform yang menawarkan obat anti-kesepian. Dan memang kenyataannya begitu. Media sosial telah mengkomodifikasi dan mempatologiskan kesepian dan menawarkan kita obat.

Namun, sesuatu yang berlawanan justru terjadi.

Dalam sebuah survei ditemukan bahwa individu yang menghabiskan lebih banyak waktu di media sosial merasa lebih kesepian ketimbang mereka yang menghabiskan lebih sedikit waktu untuk terlibat dengan media sosial.

Hal ini disebabkan oleh perpindahan pengalaman sosial. Semakin banyak waktu yang dihabiskan untuk media sosial, semakin sedikit waktu yang dimiliki untuk berinteraksi sosial di dunia nyata.

Karena alasan ini, peningkatan penggunaan media sosial sebenarnya dapat menyebabkan bergesernya pengalaman sosial yang sehat, mempersulit kita untuk terhubung pada tingkat yang sangat pribadi dan bermakna.

Semua pesan dan notifikasi yang kita terima mungkin merupakan bukti bahwa kita telah saling terhubung dan berinteraksi dengan banyak orang; tapi sampai ke level apa?

Apakah itu benar-benar menjalin hubungan yang dekat atau hanya sampai di permukaannya saja?

Pertanyaan yang lebih berat adalah, seberapa banyak interaksi, like, komentar, dan chattingan di media sosial yang setara dengan koneksi yang kita dapatkan dari kehadiran satu orang di dunia nyata?

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa kecanduan media sosial justru dapat meningkatkan rasa kesepian | Ilustrasi via brandignity.com
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa kecanduan media sosial justru dapat meningkatkan rasa kesepian | Ilustrasi via brandignity.com
Sebuah studi yang berlangsung hampir selama 80 tahun berfokus pada apa yang membuat orang bahagia, dan hasilnya adalah kekuatan hubungan dalam hidup mereka. Sederhana, bukan?

Hubungan dekat ternyata lebih berharga ketimbang uang atau ketenaran. Hubungan yang terjalin dengan sehat merupakan hal sederhana yang membuat orang bisa bahagia sepanjang hidup mereka.

Namun, waktu dan energi yang dihabiskan untuk media sosial telah mengorbankan hubungan yang lebih mengakar, intim, dan mendukung.

Karenanya, ketika Anda mengalihkan dunia Anda kepada media sosial, Anda sedang mengorbankan waktu berharga Anda di dunia nyata hanya untuk melakukan interaksi yang dangkal di media sosial.

Oh, dan Anda pun merasa kesepian pada akhirnya.

Menaruh harapan

Media sosial telah memungkinkan kita untuk bisa terkoneksi dengan siapa pun yang kita temukan. Dan Anda tahu apa yang mengerikan? Kita menaruh harapan untuk bisa berkenalan dengan seseorang yang diidamkan.

Kita menjadi begitu pilih-pilih dalam berinteraksi. Ketika kita memiliki standar tertentu terhadap orang-orang yang ingin kita ajak mengobrol, kita mulai menyeleksinya dengan gambar. Sungguh.

Saya teringat seorang teman yang begitu rajin menatap layar ponsel hanya untuk bolak-balik memeriksa profil setiap orang yang ditemukannya. Dia memerhatikan setiap foto, berharap orang tersebut adalah bidadari idaman yang sedang dicarinya.

Setiap akun dengan foto yang "tidak sesuai kriterianya" akan dilewati dengan cepat. Namun saat menemukan akun dengan foto berkulit bening, dia mengirimkan pesan untuk menyapa.

Sayangnya, sekarang orang itu yang pilih-pilih dan teman saya yang menjadi korban dari tindakan pilih-pilih. Dan setelah menghabiskan waktu selama 3 jam, dia masih belum mengobrol dengan siapa pun.

Oh malangnya...

Pergeseran standar ideal

Media sosial seakan-akan punya daya magnetis yang kuat untuk menggoda kita agar mem-post puluhan foto atau video. Kita melakukan yang terbaik untuk memastikan semua orang berpikir kita sempurna dan tidak tercela.

Masalahnya, sekeras apa pun kita berusaha menjadi "sempurna", selalu ada orang lain yang ternyata jauh "lebih sempurna" ketimbang kita. Selalu ada langit di atas langit.

Kemudian kita merasa menjadi pihak yang kalah, dan lalu mengembangkan standar ideal kita menjadi lebih tinggi. Ini jelas menggeserkan standar ideal kita menuju kehidupan yang delusional.

Sejauh apa pun kita mengejar kesempurnaan, selalu ada ruang untuk menjadi lebih baik; itulah hukum kehidupan.

Jangan-jangan apa yang Anda lihat di media sosial semuanya adalah palsu | Ilustrasi via ahseeit.com
Jangan-jangan apa yang Anda lihat di media sosial semuanya adalah palsu | Ilustrasi via ahseeit.com
Ketika kita menjadi "pihak yang kalah", mayoritas dari kita cenderung mengutuk diri sendiri bahwa ia begitu payah dan satu-satunya yang kalah. Pada akhirnya, itu meningkatkan rasa kesepian, perasaan di mana seluruh dunia seolah-olah sedang menyudutkannya.

Perasaan dikucilkan

Anda sedang berselancar di Facebook dan menemukan postingan sahabat Anda yang sedang berlibur ke pantai bersama sahabat Anda yang lain. Kemudian Anda menggeser foto-foto itu ke samping, ada 9 foto di sana.

Dan... kejutan! Anda tidak menemukan diri Anda sendiri dalam foto-foto tersebut. Apa yang Anda rasakan? Marah? Sedih?

Kesepian; itu dia. Melihat foto sahabat Anda itu hanya akan membangun narasi palsu bahwa Anda sendirian dan tidak disukai.

Platform seperti Facebook dan Instagram, sering tidak disadari, dapat meningkatkan perasaan atau persepsi bahwa Anda sedang dikucilkan. Mengarahkan Anda pada perasaan terluka dan isolasi sosial bagaikan penjara gaib.

Perundungan siber

Seorang teman pernah bercerita bahwa dia menjadi korban dari perundungan siber. Kemudian saya melihat beberapa postingannya di Facebook.

Dan memang benar, kolom komentarnya dipenuhi pesan-pesan yang mengancam, pengungkapan aib masa lalu, bahkan persuasi untuk menjauhinya hanya karena penampilannya yang...

Perundungan siber tersebut telah membuat teman saya merasa dikucilkan. Ketika muncul keinginan untuk berinteraksi dengan orang lain, sering muncul rasa takut dalam waktu yang bersamaan. Pada akhirnya, dia kesepian.

Apa yang harus kita lakukan?

Meskipun ada bukti lebih banyak kesepian di antara pecandu media sosial, ada juga bukti yang menunjukkan bahwa penggunaan media sosial dapat mengurangi rasa kesepian.

Bagi sebagian orang, media sosial dapat menjadi katalisator yang ampuh dalam memerangi rasa kesepian.

Bagaimana kita menjelaskan kontradiksi semacam ini?

Penelitian mengungkapkan bahwa media sosial dapat efektif mengatasi kesepian jika digunakan untuk meningkatkan hubungan yang sudah ada, atau menjalin hubungan baru yang bermakna.

Di sisi lain, media sosial dapat meningkatkan rasa kesepian jika digunakan sebagai pengganti dari interaksi sosial di kehidupan nyata. Jika Anda menghabiskan separuh hari Anda untuk media sosial sebagai pengganti koneksi nyata, perasaan kesepian akan memburuk.

Jadi, ini bukan sepenuhnya kesalahan media sosial itu sendiri, tetapi bergantung dari cara kita mengintegrasikannya ke dalam kehidupan kita saat ini.

Hal ini didukung dengan adanya penelitian yang membuktikan bahwa media sosial membantu remaja introvert dalam mengembangkan keterampilan sosialisasi.

Maka, "diet" media sosial dapat menjadi solusi kita. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa membatasi penggunaan media sosial hingga 30 menit dalam sehari dapat meningkatkan kesejahteraan yang signifikan.

Bekerja dengan 143 mahasiswa, para peneliti menemukan bahwa mereka yang membatasi penggunaan media sosial hingga 30 menit dalam sehari selama tiga minggu memiliki penurunan signifikan terhadap rasa kesepian dan depresi.

Dengan catatan, mereka mengganti waktu yang sebelumnya digunakan untuk media sosial menjadi waktu untuk melakukan hobi mereka. Seperti yang kita tahu, hobi adalah kegiatan yang dilakukan sesuai diri ideal kita. Jelas itu meningkatkan kebahagiaan.

Saya telah membuktikan kebenaran dari penelitian itu. Ketika saya mulai membatasi diri dari media sosial, saya punya waktu lebih untuk berkontemplasi di alam terbuka.

Terkadang saya sambil menulis, bersenandung, atau hanya memandang kosong apa yang ada. Saya terpana oleh alam yang begitu eloknya. Terkadang saya bertanya-tanya, mengapa orang-orang melewatkan keindahan ini?

Apakah notifikasi Facebook lebih penting ketimbang mengistirahatkan diri bersama alam yang pada dasarnya merupakan sekutu terbesar kita?

Cobalah untuk mendengarkan para burung bernyanyi. Anda akan terpesona karena lagu yang mereka lantunkan adalah lagu yang juga dinyanyikan oleh para bidadari di surga.

Atau awan-awan yang bergerak. Tancapkan pandangan Anda untuk menembus batas horizon. Bayangkan Anda terbang di ruang hampa dalam kegelapan. Anda akan melihat batu marmer biru yang kesepian sedang melayang. Itu adalah planet kita.

Dan kita bisa mencontoh para pendahulu kita. Mereka juga mengalami rasa kesepian, namun mereka memiliki ekspektasi yang lebih sederhana tentang jumlah pertemanan yang seharusnya mereka miliki.

Mereka menganggap kesepian sebagai bagian yang tak terhindarkan dari menjadi manusia.

Para leluhur kita tidak dihadapkan pada postingan foto liburan di Instagram yang sempurna tentang anak-anak yang tampaknya tidak mampu melakukan apa pun kecuali kelucuan. Tetapi mereka (jauh lebih) bahagia.

Pada akhirnya, kita tahu bahwa epidemi kesepian ini merupakan kesalahan kita dan teknologi.

Perusahaan teknologi besar merancang perangkat mereka agar membuat ketagihan karena itulah model bisnis mereka. Tetapi kita juga bersalah karena (sebagian dari) kita malah dengan sengaja menenggelamkan diri padanya.

Padahal, kita dapat menghentikan penggunaan teknologi jika kita memilih untuk mencabutnya. Saya tahu itu tidak mudah. Tapi, marilah kita kembali menuju esensi dari media sosial.

Marilah kita gunakan media sosial sebagaimana tujuan ia pada awal diciptakannya. Anda tahu mengapa?

Tak ada hal besar yang memasuki kehidupan manusia tanpa kutukan -- Sophocles

Jadi jika Anda merasa kesepian, carilah seseorang di dunia nyata dan bukannya lari menuju media sosial. 

Ingat, jangan sampai kesepian kita dijadikan ladang bisnis oleh mereka. Duh!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun