Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Fate seemed to be toying us with jokes that were really not funny.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Antreas

9 Maret 2021   07:50 Diperbarui: 9 Maret 2021   07:53 362
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kita mendapatkan kepuasan diri yang menyedihkan | Ilustrasi oleh Kevin Schmid via Pixabay

Tatkala perang telah berakhir, Antreas meninggalkan pasukannya tanpa diketahui. Ia berjalan menyusuri Padang Wahiba dengan untanya yang setia. Sang kaisar justru memilih melarikan diri dari pesta kemenangan para pasukannya. Dengan jubah putih tanpa darah, hatinya turut bersih menjaga kesucian.

"Untuk apa semua itu?" bisiknya dengan hati terenyuh.

Sesosok malaikat pasti telah turun menaburkan debu ajaibnya, karena tiba-tiba saja sebuah pohon rindang di tengah gurun sedang menjaga kesejukannya untuk Antreas. Dalam rehatnya yang sepi, ia duduk bertapa mengolah hidupnya.

Di sini ia bersukacita akan spiritnya dan penyendiriannya, sama sekali tidak merasa letih. Namun badannya sedikit gemetar. Langit gelap di tengah gurun tak dikiranya akan dingin sedingin ini.

Sekian lamanya kesunyian mencekik, ia berseru pada langit bersama jiwa soliternya:

"Duh, bintang megah! Apa yang menjadi kebahagiaan kau jika tidak ada mereka yang kau sinari? Kau selalu datang mamayungiku dalam gulita, kau akan menjadi letih akan cahayamu sendiri jika itu bukan untukku dan untaku.

Sungguh kami umat manusia selalu menantimu setiap pagi. Tapi perhatikan! Orang-orang telah letih dengan sendirinya hingga bintang tiruan telah banyak diciptakan. Siapakah yang akan kau sinari sekarang? Hanya aku dan untaku, wahai engkau yang bercahaya pucat!

Kapan kau akan berhenti bersinar? Tidakkah kau menyadarinya bahwa mereka yang kau sinari telah berkhianat? Tapi, janganlah menangis, kekasihku! Nun jauh di sana, para manusia bijak sedang berbahagia dalam kebodohannya dan manusia miskin sedang berbahagia dalam kekayaannya.

Ketahuilah, mereka selalu merindukanmu! Hujanilah aku dengan sinarmu! Mataku yang hening bisa melihat kebahagiaanmu yang berlimpah tanpa rasa iri! Perhatikan! Tetesan air menguap bersama air matamu. Sesungguhnya peranmu tak akan pernah tergantikan, duhai kekasihku!"

Dan pada keesokan paginya, ia bangkit bersama fajar melangkah ke hadapan sang surya, lalu menyaksikan sesuatu yang amat janggal.

Dalam pandangannya yang penuh fatamorgana, tampak samar-samar sebuah pemukiman sedikit rumah. Ia semakin yakin bahwa tidurnya sangatlah lelap hingga angin gurun berhasil menggiringnya terbang bersama pasir-pasir itu.

Beberapa jam lamanya berjalan, pemukiman itu semakin dekat, terdengar suara-suara pribumi yang bercengkerama, hatinya semakin dilema. Jika ia muncul di sana, mereka akan menganggapnya sebagai seorang musafir yang patut dikasihani. Dan itu juga berarti menghancurkan misi soliternya!

Namun, hatinya tiba-tiba berubah. Misi kemanusiaan telah berbisik jauh ke lubuk hatinya, dan Antreas siap ditertawakan oleh siapa pun.

Bersama untanya yang mulai bungkuk, Antreas menghampiri kerumunan tanpa suara. Cadangan air dalam tubuh unta itu telah surut, membuat langkahnya sangatlah pelan seperti menyeret paksa bak seorang prajurit dengan kaki tertembak.

Bumi 2222, kehidupan umat manusia telah kembali serupa seperti nenek moyangnya. Dunia semakin mendekati kehancurannya. Dengan spons apakah kita akan menghapus seluruh horizon? Dengan pohon apakah kita akan berteduh dari gejolak keringat sang surya? Dengan sedotan apakah kita akan mampu menenggak habis seisi lautan?

Di alun-alun pasar yang terik ini, Antreas coba mendengarkan apa yang sedang dibicarakan orang-orang itu.

"Hutan akan sangat sempurna untuk menopang hidup kita selama beberapa tahun ke depan!" seru seorang pria tua yang janggutnya seperti terbakar.

"Kita akan berteman dengan para burung! Mereka bisa membantu kita mencari biji-bijian!"

"Lalu apa lagi yang bisa kita kerjakan di sana?" tanya seorang remaja di tengah ketegangan.

"Menunggu kematian!" sambar Antreas yang tiba-tiba datang dengan unta dituntunnya.

Semua orang yang bahkan bukan bagian dari diskusi itu serentak memandangi Antreas karena mengundang misteri. Maka berujarlah salah seorang di antara mereka, "Aku mengenali musafir ini! Antreas, sang kaisar, begitulah aku mengenalnya!"

"Diakah?" tanya orang-orang tak percaya. Mereka memandang satu sama lain seperti kebingungan.

Antreas tetap dingin dalam bersikap. Di tengah riuhan gosip yang tak pasti, seorang perempuan berbaju lusuh bertanya, "Mengapa kau pergi? Apakah pasukanmu tak cukup kuat? Kami dengar, kalian baru saja memenangi peperangan!"

Antreas sedikit melangkah laksana seorang penari. "Aku mencintai manusia!" jawabnya.

"Lalu, apa yang kau inginkan di tengah gurun ini? Kau datang di saat kami berencana untuk pergi!"

"Bukankah aku pergi ke padang pasir karena aku terlalu mencintai manusia?" ujar Antreas sedikit lain.

"Jadi, bagaimana?" tanya seorang pribumi yang sangat kebingungan.

"Sekarang aku mencintai Tuhan. Mencintai manusia sangat menghancurkanku," jawabnya spontan tanpa ragu.

"Enyahlah kau!" sentak mereka. "Kami butuh seorang penyelamat dan bukannya seorang musuh!"

"Justru aku membawa hadiah untuk umat manusia."

"Jangan berpura-pura menyenangkan kami!"

"Tidak, aku di sini bersungguh-sungguh! Persembahan cintaku yang tulus untuk Tuhan akan membuat-Nya luluh untuk mengampuni dosa umat manusia."

"Bodoh! Tuhan Maha Pengampun!" seru seorang pribumi lainnya.

"Lantas, mengapa kalian berdiri di sini tanpa asa? Mengapa kalian begitu takut dengan akhir cerita dari hidup ini? Bumi memang sudah sangat tua. Ia menangis sepanjang waktu sebab manusia bertingkah tanpa tahu berterima kasih."

Derap suara mereka terdengar senyap di telinga Antreas. Di teriknya sang surya, keringat mengalir bagaikan air Niagara. Antreas melanjutkan khotbahnya:

"Dan di masa yang kelam ini, dapatkah kalian memikirkan apa gunanya dari semua yang telah manusia lakukan? Gedung-gedung tinggi hingga gedung-gedung pencakar bumi meleleh begitu saja secara tak masuk akal. Kelangkaan energi fosil telah menimbulkan perang di mana-mana. Bukankah itu bagus? Biarlah umat manusia merindukan perdamaian dan kesejahteraan."

Semua yang mendengar merasa terhina seperti dituduh. Mereka laksana para pembenci kehidupan, yang membusuk dan beracun bersama layunya daun-daun. Karena merekalah dunia ini kelelahan, maka selayaknya manusia diusir!

"Bukankah jiwa kita penuh kemiskinan sekarang ini?" lanjut Antreas. "Kita adalah polusi! Kita mendapatkan kepuasan diri yang menyedihkan. Jiwa ini sendiri pun kurus, menakutkan, kelaparan. Dan kekejaman telah menjadi pesona jiwa!"

"Kami bersaksi bahwa hari akhir benar-benar akan datang!" seru seorang remaja kurus lagi kering.

"Berhati-hatilah, manusia," khotbah Antreas, "sebab kita sudah mulai kesepian di tengah samudera. Jika kita tidak segera kembali kepada-Nya, celakalah kita! Bara-bara panas di dalam neraka sedang bergejolak menunggu kita. Beruntungnya, surga pun masih sangat lapang untuk kita tinggali."

"Beri petunjuk kepada kami, wahai Tuan kaisar!"

"Duh, manusia! Aku bukan seorang penyelamat atau seorang nabi. Uruslah dirimu sendiri, sebab masalahnya ada pada dirimu sendiri!"

"Bagaimana Tuhan akan mengampuni kami?" tanya beberapa dari mereka.

"Hubungilah Tuhan dengan ponsel-ponsel yang kalian banggakan itu!" jawab Antreas beriringan tawa bak sebuah guntur di langit kelabu.

"Umat manusia tak bisa mempertahankan apa pun. Kami meninggalkan semuanya tanpa sisa."

"Kalau begitu, aku mohon pada kau, para saudaraku, gunakanlah senjata paling mutakhir kita yang sudah sangat berdebu," pinta Antreas.

"Apa itu?"

"Hati dan pikiran! Berimanlah dengan hatimu bahwa Tuhan Maha Pengampun. Gunakanlah pikiranmu untuk mencari cara yang etis dalam memohon ampunan kepada-Nya. Waktu kita sedang mendekati akhir. Terlambat satu detik saja, kita tak ada bedanya seperti batu-batu yang melebur menjadi pasir!"

Kesunyian mencekik beberapa saat hingga akhirnya mereka bersimpang-siur seperti mencari sesuatu yang amat-penting. Pernahkah datang seorang penolong seperti ini di masa yang lalu?

"Dosa-dosa telah ikut mendidih bersama darah-darah kita. Tapi hati selalu melolong akan kerinduannya menuju surga. Di manakah sang kilat akan menjilat lidah kita? Maka carilah kegilaan dalam dirimu yang mana mesti kau bersihkan segera!"

Muhammad Andi Firmansyah, di sudut tak terlihat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun