“Keunikannya, pertunjukan teater raksasa ini seperti sebuah ‘casting’ untuk pertunjukan yang sesungguhnya. Para aktor yang lolos hanya mereka yang bisa memainkan skenario dengan baik.”
“Ah, aku mengerti. Sangat mengerti!”
“Sang Sutradara telah memberikan sedikit skenarionya pada kita. Tinggal bagaimana kita memainkan peran sesuai skenario dengan sedikit keindahan improvisasi kita. Sang Sutradara akan sangat mengagumi itu.”
“Aku belajar cukup banyak,” Anna melanjutkan, “Mereka yang lolos ke pertunjukan sesungguhnya juga harus memainkan sebuah peran sesuai skenario? Apa bedanya kalau begitu?”
Pria itu mengangkat bahu. “Itu cukup samar-samar bagi kita, seperti sebuah acara lawak.”
“Maksud Anda?”
“Ya, mereka yang bermain di acara lawak mungkin bermain dengan skenario; bisa juga tidak. Kita hampir tak bisa membedakan antara keduanya.”
Anna memandang pria itu dengan anggukan. Luar biasa, tak pernah terbayangkan oleh Anna bahwa seorang pria asing akan memberinya pelajaran berharga. Rasanya ia sedang duduk di sebuah kelas kuliah kehidupan.
“Rasanya sangat menakjubkan bisa mendengar semua ini. Anda pasti seorang guru yang bijak,” jujur Anna pada pria itu.
Namun tak ada tanggapan apa pun dari pria itu selain senyuman yang merekah dari bibirnya. Sekali lagi, pria itu tak tertarik dengan pujian Anna.
Hari semakin larut. Awan-awan itu perlahan berpencar, sedikit membiarkan langit senja menunjukkan keindahannya. Anna ingin mengobrol lebih lama dengan pria itu, tapi ia sudah berjanji untuk pulang sebelum matahari "tertidur".