Solusi berbasis alam lagi ramai dibicarakan. Bukan cuma di satu dua negara. Tapi hampir di mana-mana. Istilah kerennya Nature-Based Solutions.
Idenya sederhana saja. Manusia memanfaatkan proses alam untuk menyelesaikan persoalan lingkungan yang rumit.
Menurut IUCN, NbS berarti melindungi, mengelola, dan memulihkan ekosistem secara berkelanjutan agar memberi manfaat bagi manusia sekaligus keanekaragaman hayati (IUCN).
Dengan pendekatan ini, alam bukan lagi objek yang dieksploitasi. Ia diposisikan sebagai pemain utama yang ikut memulihkan lingkungan.
Contoh-contoh suksesnya bikin optimistis. Lihat Nagoya di Jepang, misalnya. Kota ini serius membangun infrastruktur hijau untuk melawan panas perkotaan ekstrem atau Urban Heat Island (Nikkei Asia, 2023).
Taman kota diperbanyak, koridor hijau disambung-sambungkan. Hasilnya, lingkungan jadi lebih sejuk dan terasa lebih layak huni.
Di Jerman ada cerita Isar-Plan di Munich. Alih-alih sekadar mengandalkan tanggul beton, aliran sungai diperlebar dan elemen alami seperti bebatuan. Kerikil, serta vegetasi riparian dihidupkan kembali.
Laporan lembaga terkait mencatat penurunan risiko banjir dan kembalinya keanekaragaman hayati, termasuk ikan asli dan serangga air (European Environment Agency, 2016).
Tetap saja, apakah praktiknya selalu semudah itu? Menganggap NbS sebagai jalan pintas jelas keliru.
Keberhasilan di Eropa belum tentu bisa ditiru begitu saja. Yang terjadi di Jepang belum tentu cocok untuk kota-kota di Indonesia.
Setiap tempat punya konteks sosial politik dan kondisi geografis yang berbeda. Jadi, wajar kalau kita perlu bersikap kritis, bukan hanya terpukau sisi manisnya.