Mohon tunggu...
Muhamad Yus Yunus
Muhamad Yus Yunus Mohon Tunggu... Seniman - Sastrawan, dan Teaterawan

Lulusan Sarjana Sastra, Prodi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Pamulang. Penulis buku, kumpulan puisi Dukri Petot: Gaya-gayaan, Novel Tidak ada Jalan Pulang Kecuali Pergi, Anak Imaji, dan Sandiwara Kita di dalam atau di Luar Panggung Sama Saja (2020) Guepedia. Pendiri Teater Lonceng, Tangsel. https://sites.google.com/view/myusyunus

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kenapa Setan Lagi yang Disalahkan? Dekonstruksi Setan dan Cerita Lama

25 September 2021   15:50 Diperbarui: 30 Mei 2023   10:54 705
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di kehidupan modern sampai saat ini, sudah banyak di antara manusia yang telah meninggalkan kepercayaan demit. Tapi nayatanya mereka tidak lebih layak untuk menjaga kondisi alam seperti halnya demit itu sendiri. Pembangunan masal seperti jalan-jalan, gedung, dan fasilitas publik yang lain telah banyak memusnakah ciri khas keleluhuran. Ketamakan manusia terhadap dunia jauh lebih kejam dari pada setan atau demit.

Seburuk-buruknya cerita tentang demit tidak jauh lebih buruk dari tabiat manusia itu sendiri. Pembangunan nyatanya tidak memberikan kesejahteraan malahan memusnahkan sebagian keadaan yang damai. Sementara para demit hanya membutuhkan keadaan alam yang asri berupa pohon rindang, atau hutan yang hijau untuk bertempat tinggal. 

Dalam naskah ini Heru Kesawamurti menegaskan bahwa semua mahluk hidup membutuhkan keberlangsungan, dan hak-hak mereka atas bumi pratiwi yang dicintainya. Sementara potert pembangunan tidak memberikan kesejahteraan, justru malahan membuat mereka terpinggirkan. Ambilan contoh yang sangat terdekat saja. Ibu kota Jakarta saat ini bukan hanya menjadi pusat administrasi, malahan telah berubah menjadi tempat bisnis dan produktifitas, hiburan dan aneka dongeng kebahagiaan bagi para perantau. 

Pembangunan yang besar di Jakarta memberikan fatamorgana bagi para penduduk urban. Angan-angan kehidupan yang mentereng dan terjamin seolah-olah berada di bawah kaki Monas, di depan patung Sudirman, atau berada di sisi jalan Hotel Indonesia. Kaum urban semakin datang berdesakan dan Betawi tersisih jauh ke kota Bogor, Tangerang, Bekasi, bahkan adanya sampai lupa silsilah suku asalnya. Seolah-olah suku tidak lagi penting untuk pertahan di era pembangunan modern yang padahal karena perbedaan dan varian inilah Indonesia menjadi negara yang dikenal bahkan dicontoh sejumlah negara asing.

Dialog-dialog satir dalam naskah ini memberikan pesan kepada manusia. Seperti yang dikatakan oleh Genderuwo dan para demit yang lain, bahwa sebagian demit sudah tidak demitis lagi. Ada juga dialog lain yang menyampaikan, bahwa "para demit akan menyeminarkan manusia." Artinya di sini demit sebagai penggambaran manusia pada era modern hingga saat ini, di mana sebagian manusia sudah tidak lagi mencerminkan cita-cita leluhur, hingga akhirnya kehidupan manusia sudah tidak manusiawi lagi.

Heru merubah pandangan tentang proyek pembangunan masal yang semula memberikan keuntungan demi keberlangsungan hidup manusia justru sebenarnya malahan berbanding terbalik. Pihak yang tidak bisa menerima proyek pembangunan masal akan tersisi dan manjadi produk manusia yang gagal di abad modern ini. Sementara usaha untuk menjaga alam, berpegang teguh kepada idiologi bangsa, dan hak-hak sesama mahluk hidup sudah tidak lagi relevan dengan keadaan zaman. Bahwa sebenarnya manusia telah tertipu daya oleh imajinasi kemodernan yang sama sekali tidak tampak. Bangunan hanyalah sebuah bangunan yang sebenarnya telah memberikan gambaran bahwa sebuah kerusakan ekosistem alam telah terjadi.

Demikianlah dekonstruksi yang dibangun dalam naskah Dhemit karya Heru Kesawamurti ini. Mencoba meleraikan manusia dengan ketakutannya kepada mahluk halus yang tidak tampak, tetapi ketakutan akan keberlangsungan di abad pembangunan. Seharusnya setan, hantu, atau demit bukanlah hal yang menjadi musuh utama, tetapi menjadikannya sesama mahluk bumi yang terlempar dari surga dan membutuhkan alam sebagai paru-paru kehidupan. Musuh manusia bukanlah demit, bukan pada persolan demit itu nyata atau tidak tetapi kepada apa yang terjadi pada era pembangunan. Potret pembangunan dan manusia adalah sebuah contoh kecil menuju segala kerusakan dan pemusnahan.

Perbandingan Pemikiran Dekonstruksi pada Naskah Drama Setan dalam Bahaya karya Taufiq Al Hakim dengan Naskah Drama Dhemit karya Heru Kesawamurti

Perbandingan antara naskah drama "Setan dalam Bahaya" karya Taufiq Al Hakim dengan naskah drama "Dhemit" karya Heru Kesawamurti sebenarnya memiliki beberapa perbedaan, namun secara penyampaian dan sifat cendrung sama. Keduanya sama-sama cendung membahas soal kekejaman manusia dan semua kerusakan yang terjadi di muka bumi ini. Keduanya juga sama-sama menggunakan mahluk gaib yang disebut setan atau demit sebagai media pengantar.

Dari kedua naskah drama ini, peneliti melihat ada beberapa pemikiran yang coba dipertanyakan ulang. Yang pertama terkait keberadaan setan atau demit. Apakah mereka benar-benar musuh atau malah sebaliknya? Ataukah sama-sama mahluk bumi, tetangga yang berbeda alam. Tetapi satu nasib, yaitu sama-sama terlempar dari surga. Bedanya manusia lebih beruntung karena masih bisa kembali masuk surga, sementara setan sudah ditakdirkan untuk masuk kedalam neraka.

Kedua naskah drama ini juga menjelaskan bahwa sebenarnya sifat setan atau demit tidaklah lebih kejam dari pemikiran manusia. Taufiq Al Hakim hidup di tanah Arab yang telah melahirkan banyak sekali pemikir. Namun mereka saling terbecah belah oleh perang saudara. Itulah sebabnya kenapa tokoh Setan bertemu dengan tokoh seorang Filsuf dalam cerita "Setan dalam Bahaya." Namun Taufiq Al Hakim membuat kejutan dengan hasil akhit cerita yang sangat tidak tertebak. Setan tidak jadi meminta bantuan kepada Filsuf untuk berpikir. Sementara si tuan rumah berseteru dengan istrinya terkait rumah tangga. Seolah menegaskan bahwa yang membuat manusia sempurna di muka bumi ini bukanlah karena manusia berbeda dengan mahluk lain, tetapi karena manusia merasa memiliki apa-apa yang berada di bumi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun