Mohon tunggu...
Muhamad Yus Yunus
Muhamad Yus Yunus Mohon Tunggu... Seniman - Sastrawan, dan Teaterawan

Lulusan Sarjana Sastra, Prodi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Pamulang. Penulis buku, kumpulan puisi Dukri Petot: Gaya-gayaan, Novel Tidak ada Jalan Pulang Kecuali Pergi, Anak Imaji, dan Sandiwara Kita di dalam atau di Luar Panggung Sama Saja (2020) Guepedia. Pendiri Teater Lonceng, Tangsel. https://sites.google.com/view/myusyunus

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kenapa Setan Lagi yang Disalahkan? Dekonstruksi Setan dan Cerita Lama

25 September 2021   15:50 Diperbarui: 30 Mei 2023   10:54 705
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ada apa dengan setan? Kenapa Setan Lagi yang Disalahkan? Apakah Setan lebih kriminal dari manusia? Mari Kita Pikirkan Ulang! 

Dekonstruksi Setan dalam Naskah Drama "Setan dalam Bahaya" Taufiq Al- Haqim dan "Dhemit" Heru Kesawamurti

Sastra masih menjadi pilihan masyarakat dari dahulu hingga kini guna memberikan hiburan dan pelajaran. Karya-karya sastra tertentu terkadang mendominasi usia, baik pada usia remaja ataupun dewasa. 

Namun cerita rakyat tentang keberadaan hantu, dedemit, setan, atau mahluk jagat halus sering kita dengar di berbagai daerah di nusantara. Mereka digambarkan dengan ciri khas yang tidak lazim, baik secara fisik maupun sifatnya. 

Kebanyakan masyarakat kita mengonsumsi cerita setan atau hantu ini tanpa memikirkan benar tidaknya. Juga tidak ada upaya untuk mengambil intisari ataupun sekedar melihat amanat atau pesan cerita. 

Bagi masyarakat lama, karya sastra tidak berbeda dengan hukum, adat-istiadat, tradisi, bahkan juga sebagai doktrin. Memahami karya sastra pada gilirannya merupakan pemahaman terhadap nasihat dan peraturan, larangan dan anjuran, kebenaran yang harus ditiru, jenis-jenis kejahatan yang harus ditolak, dan sebagainya (Ratna, 2010: 438).

Cerita tentang hantu, setan atau mahluk tak kasat mata ini kerap menurunkan mentalitas seseorang yang kadung mengonsumsinya. Karena kebanyakan cerita tentang hantu, setan atau mahluk halus selalu digambarkan dengan sesosok mahluk yang kejam, seram, dan menakutkan.

Keberadaan setan, hatu atau mahluk halus ini juga digambarkan sebagai sesosok mahluk yang selalu berhasrat untuk menjerumuskan manusia ke dalam jurang ke hancuran. Mahluk tersebut selalu memiliki simbol yang buruk dan tidak baik.

Banyak kisah yang menghubungkan kegiatan setan dengan hilangnya seseorang anak remaja. Atau tentang seorang gadis yang terpaksa menjadi tumbal pesugihan. Cerita semacam itu telah menjadi struktur yang sudah sangat sering didengar. 

Media seperti televisi setidaknya telah memberikan pengaruhnya melalui suguhan bertemakan setan, hatu atau film horror. Seolah-olah telah menegaskan bahwa pengetahuan tetang setan hanyalah sekedar dugaan dan hiburan.

Belakangan ini peneliti menemukan dua naskah drama yang sama-sama membicarakan soal keberadaan setan atau hantu. Mahluk yang menjadi kambing hitam atas semua kesialan manusia ini tidak sepenuhnya digambarkan seperti demikian. 

Malahan mereka berprilaku, berpikir, dan memiliki emosi yang sama seperti manusia. Seolah-olah kedua naskah drama tersebut ingin berbicara kepada dunia, bahwa setan atau hantu sejatinya berasal dari ketamakan manusia itu sendiri. 

Namun meskipun sama-sama membahas tentang kehidupan setan atau hantu, kedua naskah ini memiliki beberapa perbedaan secara bentuk penggambaran dan penyelesaian cerita.

Naskah "Setan dalam Bahaya" karya Taufiq Al Hakim tidak membuat sesosok mahluk halus fiksinya memiliki ciri khas seperti yang ada di Indonesia. Ia tidak digambarkan seperti Genderuwo, Wewegombel, Kuntilanak, Jin, Kuyang atau yang lainnya. Namun sastrawan asal Mesir ini seolah-olah ingin menyampaikan kepada pembaca bahwa kehancuran manusia ada pada tangan manusia itu sendiri. 

Sama halnya dengan naskah drama "Dhemit" karya Heru Kesawamurti yang juga membahas soal kehidupan di jagat halus. Di mana manusia membuat kerusakan dengan menebang pohon dan membuat peradaban baru.

Pemikian Dekonstruksi dalam Naskah Setan dalam Bahaya karya Taufiq Al Hakim

Taufik ad-Hakim atau Taufiq Al Hakim lahir pada tanggal 9 Oktober 1898, meninggal pada tanggal 26 Juli tahun 1987 di umur 88 tahun. Ia adalah seorang penulis dan visiuner asal Mesir. Ia adalah salah satu pionir novel dan drama Arab. 

Dengan data di atas maka tidak heran jika ia mengangkat isu-isu peperangan dan pepecahan. Apalagi sampai saat ini isu tersebut masih sangat relevan untuk dibahas. Sesuai dengan apa yang Taufiq Al Hakim tulis dalam karyanya "Setan dalam Bahaya".

Taufiq Al Hakim membuat alur cerita yang mengharuskan pembaca menahan kesabaran dan menyelesaikan bacaannya sampai tuntas. Ia membuat kejutan-kejutan yang tidak biasa. 

Di awal cerita karakter seorang filsuf mendapatkan tamu tak diundang pada waktu tengah malam. Sebelumnya tokoh filsuf tersebut tengah membaca buku-buku di mejanya. Tahu-tahu ia mendapatkan telepon yang diduga dari seseorang tidak dikenal. Bahkan sesorang tersebut dengan sedikit memaksa ingin berkunjung saat itu juga. Menariknya adalah ternyata tamu tak diundang itu adalah mahluk halus atau Setan. 

Setan dalam cerita ini digambarkan memiliki tata cara bertamu yang baik seperti halnya manusia, meskipun tidak menghilangkan ciri khas sifat tokoh Setan itu sendiri. Di dalam dialog setan terlihat tidak sopan saat bertamu, karena adanya unsur memaksa. Meskipun begitu ia telah meminta izin seperti halnya manusia ketika ingin datang bertamu.

Untuk apa Setan meminta izin untuk bertamu di rumah manusia, dan kenapa ia harus bertaamu? Pertanyaan semacam ini memberijan jawaban yang cukup mengejutkan. 

Ternyata Setan tengah mengalami gangguan secara psikologi yang diakibatkan oleh peperangan yang terjadi di anatar para manusia. Pertanyaan menyangkal muncul dari tokoh Filsuf yang menuduh bahwa bukannya Setan menginginkan hal itu terjadi. Namun Setan terus memberikan penjelasan kepada tokoh Filsuf, bahwa semua kerusakan yang terjadi bukan disebabkan olehnya. Sementara kedatangan Setan di rumah Filsuf dengan tujuan meminta bantuan untuk menyelesaikan peperangan dan menciptakan perdamaian.

Sampai di sini peneliti menemukan pemikiran dekonstruksi tentang eksistensi Setan. Tidak seperti yang digambarkan dalam Al Kitab atau melalui cerita rakyat. Tugas Setan semata-mata hanya pada janjinya yang pertama, yaitu tidak ingin menyembah Adam bukan berarti menciptakan api peperangan. Sehingga hal-hal buruk yang terjadi pada manusia harus dikecualikan. Setan hanya sampai pada permasaalahan tidak mau menyembah Adam, selebihnya manusia sendirilah yang membuat peperangan itu sendiri dengan Setan, dan dengan dogma-dogmanya.

Setan ada di muka bumi ini karena adanya manusia atau anak keturunan nabi Adam. Maka sangat aneh jika Setan menginginkan dunia secepatnya kiamat. Sebab dengan kehancuran yang cepat maka Setan akan segera perpindah hidup ke neraka. Sementara perpecahan yang terjadi di atas bumi sudah sangat jelas disebabkan oleh manusia.

Melalui naskah drama "Setan dalam Bahaya" karya Taufik Al Hakim ini, pemikiran manusialah yang sejatinya setan untuk kehidupannya sendiri. Pemikiran manusia telah menciptakan bom-bom atom dan hitrogen yang dapat memusnahkan sesamanya hanya dengan sekali ledakan besar. Perbuatan semacam itu jelas merupakan pemikiran jahat yang dibuat manusia. Sementara manusia selalu menyalahkan setan atas segala yang dibuatnya.

Pada akhir cerita Taufik Al Hakim memunculkan kejutan dengan hadirnya orang ketiga yang mana tokoh ini adalah istri dari tokoh Filsuf si tuan rumah. Keduanya terjadi cekcok tentang permasalahan rumah tangga yang menyebabkan niat baik dari Setan harus digagalkan. Seolah meruntuhkan pendapat sebelumnya, apa-apa yang terjadi pada kehidupan diakibatkan oleh hubungan manusia itu sendiri. Lantas kenapa setan harus disalahkan.

Pada pemahaman agama, setan tidak dianggap sebagai mahluk yang sempurna. Sementara Tuhan menciptakan manusia sebagai mahluk yang sempurna karena diberkati akal pikiran. Oleh kareba itukah setan diminta oleh Tuhan untuk menyembah Adam. Setan bukan menolak akal pikiran manusia, karena sebenarnya ia juga mahluk yang pintar.  Tapi setan menolak sebagai mahluk kedua di surga. Jadi setan tidak benar-benar menolak kemampuan berpikir manusia. Ia hanya tidak mau menyembah saja. Itulah kenapa Taufiq Al Hakim membuat seolah-olah setan membutuhkan pemikiran manusia. Sebab dari sanalah permasalahan anatara setan dan manusia terjadi. Bukan karena takdir setan yang dikutuk oleh Tuhan, melainkan karena adanya penolakan terhadap keberadaan pikiran yang terdapat dalam diri manusia.

Sebagai penduduk Mesir yang selalu mendapatkan ancaman peperangan, konflik perdamaian, terorisme, dan perlawanan terhadap dunia barat seperti kepada Amerika. Taufiq Al Hakim ingin memberikan pemahaman kepada masyarakat Mesir bahwa semua peperangan yang terjadi diakibatkan oleh pertikaian panjangan dan perdamaian yang tidak kunjung terlaksana. 

Tentunya sebagai seorang warga negara barang kali Taufiq Al Hakim merasa tidak nyaman dengan keadaan itu. Sehingga ia menciptakan karya yang diharapkan dapat menciptakan pegerakan baru menuju perdamaian dunia. Tidak hanya meruntuhkan sebuah kebenaran tentang Setan. Melalui naskah drama Setan dalam Bahaya Taufiq Al Hakim berusaha menyampaikan bahwa Setan tidak lain dan tidak bukan adalah manusia itu sendiri. Jika manusia memiliki sifat yang seperti setan lantas apa pekerjaan setan?

Dengan demikian pekerjaan setan sudah sangat terbantu, atau bahakan telah diwakili dan setan tidak perlu membisikan apapun untuk membuat manusia menuju neraka. Atau jangan-jangan setan itu tidak pernah ada, karena ia ada dalam pikiran manusia berupa kebatilan-kebatilan yang membawa malapetaka. Pertanyaan yang sebaliknya adalah jika setan memang benar ada lalu kenapa manusia tidak memerangi langsung setan-setan itu. Apalagi konstrukasi yang ada menyatakan bahwa setan ingin membawa manusia ke dalam api neraka. 

Musuh manusia sejauh ini adalah bentuk yang nampak. Tetapi kenapa manusia menjadikan yang tidak terlihat sebagai lawan. Secara logika sebuah peluru dapat menembus tubuh manusia yang nampak, karena peluru juga nampak meskipun meluncur dengan cepat sehingga seolah-olah tidak terlihat. Sementara setan sudah terlahir dengan subtansi yang tidak ada atau tidak sanggup dilihat apa lagi diraba, tidak memiliki bentuk yang dapat ditangkap oleh panca indra. Padahal saat Adam dan setan bertemu di surga seharusnya terjadi interaksi panca indra. Dan di saat itulah manusia melihat setan. Atau jangan-jangan setan itu sendiri berada dalam tubuh nabi Adam, yang membuatnya jatuh ke bumi. 

Meskipun sebuah pemikiran tidak terlihat namun ia berasal dari otak yang berbentuk di dalam kepala manusia. Sehingga dapat tarik kesimpulan bahwa setan yang manusia hadapi adalah pikirannya sendiri. Lalu bagaimana dengan penggambaran setan atau mahluk halus dalam naskah Dhemit karya Herukesawamurti? Apakah sama ataukah berbeda?

Pemikiran Dekonstruksi dalam Naskah Dhemit Karya Heru Kesawamurti

Naskah "Dhemit" digarap oleh Heru Kesawamurti dan dipentaskan oleh Teater Gandrik, Yogyakarta di Taman Izmail Marzuki pada tanggal 18 dan 19 Desember tahun 1987 lalu. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa naskah ini erat kaitannya dengan permasalahan pembangunan di era Orde Baru yang dipimpin oleh seorang presiden bernama Soeharto.

Di awal cerita, seorang kontaktor bernama Rajegwesi dan konsultannya beranama Suli tengah beradu pendapat tentang proyek pembuatan jembatan. Sebelumnya sebuah kejadian buruk telah melanda para pekerja yang berujung pada kegagalan. Sebuah pohon keramat harus disingkirkan guna menyelesaikan tahap awal pembangunan jembatan di sebuah komplek perumahan yang sudah dibangun. Jembatan itu menjadi akses masuk yang strategis bagi para penghuni perumahan nantinya. Namun usaha Para Tukang digagalkan oleh aksi Dedemit dan Sawan. Alhasil Para Tukang jatuh tak sadarkan diri.

Heru Kesawamurti membuat kejutan yang cukup menarik dengan menggambarkan dialog-dialog Para Dhemit. Ia membuat seolah-olah mahluk halus pun memiliki emosional seperti manusia, seperti rasa cintanya terhadap tanah kelahiran, keperdulian terhadap sesama, dan sikap nasionalis gotong royong.  Tidak hanya itu saja, para mahluk halus digambarkan memiliki kepandaian berbicara seperti manusia, berpikir, dan memiliki birokrasi yang jelas. Jin Pohon Preh sebagai yang tertua, Genderuwo sebagai pemimpin pasukan, Wilwo, Egrang dan Kuntulanak sebagai staf bawahan, dan disusul Sawan sebagai pesuruh atau bawahan yang memimpi demit pada level bawah. Sehingga naskah "Dhemit" memiliki genre komedi satir penuh gelitik dan kritik.

Para demit menuntun balas atas kelancangan manusia yang tengah berupaya mengusik keberadaannya. Dialog itu dipimpin oleh Genderuwo yang sudang sangat geram. Ia ditemani oleh Wilwo, Egrang, dan Kuntilanak. Awalnya usulan perlawanan itu ditolak mentah-mentahan oleh Jin Pohon Preh, namun setelah Para Tukang kembali datang untuk membuka lahan baru Ketua Jin itu akhirnya membuka matanya terhadap ancaman yang terjadi. Namun Sawan datang membawa sandra yang mana itu adalah Suli. Ternyata perbuatan sawan menculik Suli di luar mandat Jin Pohon Preh. Setelah diusut semua yang dilakukan Sawan itu atas dasar perintah dari Genderuwo. Di sinilah ketegangan antara Jin Pohon Preh dan para demit terjadi.

Awalnya Heru Kesawamurti berusaha menampilkan karakter para demit dengan gambaran seperti yang telah menjadi konsumsi awal publik. Munculnya Genderuwo, Wilwo, Egrang, Kuntilanak, dan Sawan merupakan penggiringan opini publik tentang keseraman sesosok mahluk halus. Sebab nayatanya mereka tidak memiliki karakter yang sama seperti yang ada pada cerita rakyat. Para demit tahu dan mengerti bahasa manusia, bahkan mereka pula memahami istiliah-istilah pegerakan yang berkembang dijagat kasar.

Hal yang sama seperti pada potret kehidupan manusia tradisional di Indonesia, pohon kremat menjadi bagian yang disakralkan secara mitos bukan dengan logika bahwa pohon menunjang kehidupan manusia. 

Terdapat dua tokoh tambahan dalam naskah Dhemit yang mewakili keadaan itu, ia adalah Sesepuh Desa dan pembantunya. Kedua tokoh ini menjadi media penghubung antara alam gaib dengan kehidupan nyata. Tokoh yang berlawanan dengan mereka adalah Rajegwesi. Ia tokoh yang tamak dan culas. Kehadirannya sebagai lawan dari semua tokoh yang ada. Heru Kesawamurti sengaja membuat tokoh ini berpikiran logis dan sangat realistis, tentunya ada maksud dan tujuan tersendiri.

Dari paparan di atas maka dapat dilihat bahwa Heru Kesawamurti tengah menggambarkan keadaan sistem birokrasi yang dibuat pada masa Orde Baru. Jin Pohon Preh sebagai ketua para demit yang memiliki kekuasaan otoriter, terlihat ketika semua kebijakannya harus ditaati oleh para demit memberikan pengaruh tersendiri. Tidak hanya melalui Jin Pohon Preh, ia juga menggambarkan keadaan politik saat itu seperti halnya pemikiran Rajegwesi yang selalu realistis dan tamak. Pembangunan infrastruktur menjadi ciri tersendiri sebagai penanda zaman. Apa lagi orang Indonesia pasti tidak asing lagi dengan sebutan Bapak Pembangunan yang tidak lain tidak bukan adalah Soeharto. 

Setan, hantu, atau dedemit digambarkan oleh Heru Kesawamurti seperti halnya manusia. Ia juga membutuhkan tempat tinggal dan bisa merasakan ancaman. Upaya untuk meluluhlantahkan mitos tentang dunia gaib, digambarkan dengan sebuah pembangunan bahwa sebenarnya demit dan manusia sama saja. Demit juga memiliki hubungan sesama demit, mereka terstruktur seperti kehidupan sosial manusia. Namun keberadaan tentang ada atau tidaknya demit bukanlah sesuatu yang perlu dibahas terus menerus, apalagi dibuktikan secara fisik.

Di kehidupan modern sampai saat ini, sudah banyak di antara manusia yang telah meninggalkan kepercayaan demit. Tapi nayatanya mereka tidak lebih layak untuk menjaga kondisi alam seperti halnya demit itu sendiri. Pembangunan masal seperti jalan-jalan, gedung, dan fasilitas publik yang lain telah banyak memusnakah ciri khas keleluhuran. Ketamakan manusia terhadap dunia jauh lebih kejam dari pada setan atau demit.

Seburuk-buruknya cerita tentang demit tidak jauh lebih buruk dari tabiat manusia itu sendiri. Pembangunan nyatanya tidak memberikan kesejahteraan malahan memusnahkan sebagian keadaan yang damai. Sementara para demit hanya membutuhkan keadaan alam yang asri berupa pohon rindang, atau hutan yang hijau untuk bertempat tinggal. 

Dalam naskah ini Heru Kesawamurti menegaskan bahwa semua mahluk hidup membutuhkan keberlangsungan, dan hak-hak mereka atas bumi pratiwi yang dicintainya. Sementara potert pembangunan tidak memberikan kesejahteraan, justru malahan membuat mereka terpinggirkan. Ambilan contoh yang sangat terdekat saja. Ibu kota Jakarta saat ini bukan hanya menjadi pusat administrasi, malahan telah berubah menjadi tempat bisnis dan produktifitas, hiburan dan aneka dongeng kebahagiaan bagi para perantau. 

Pembangunan yang besar di Jakarta memberikan fatamorgana bagi para penduduk urban. Angan-angan kehidupan yang mentereng dan terjamin seolah-olah berada di bawah kaki Monas, di depan patung Sudirman, atau berada di sisi jalan Hotel Indonesia. Kaum urban semakin datang berdesakan dan Betawi tersisih jauh ke kota Bogor, Tangerang, Bekasi, bahkan adanya sampai lupa silsilah suku asalnya. Seolah-olah suku tidak lagi penting untuk pertahan di era pembangunan modern yang padahal karena perbedaan dan varian inilah Indonesia menjadi negara yang dikenal bahkan dicontoh sejumlah negara asing.

Dialog-dialog satir dalam naskah ini memberikan pesan kepada manusia. Seperti yang dikatakan oleh Genderuwo dan para demit yang lain, bahwa sebagian demit sudah tidak demitis lagi. Ada juga dialog lain yang menyampaikan, bahwa "para demit akan menyeminarkan manusia." Artinya di sini demit sebagai penggambaran manusia pada era modern hingga saat ini, di mana sebagian manusia sudah tidak lagi mencerminkan cita-cita leluhur, hingga akhirnya kehidupan manusia sudah tidak manusiawi lagi.

Heru merubah pandangan tentang proyek pembangunan masal yang semula memberikan keuntungan demi keberlangsungan hidup manusia justru sebenarnya malahan berbanding terbalik. Pihak yang tidak bisa menerima proyek pembangunan masal akan tersisi dan manjadi produk manusia yang gagal di abad modern ini. Sementara usaha untuk menjaga alam, berpegang teguh kepada idiologi bangsa, dan hak-hak sesama mahluk hidup sudah tidak lagi relevan dengan keadaan zaman. Bahwa sebenarnya manusia telah tertipu daya oleh imajinasi kemodernan yang sama sekali tidak tampak. Bangunan hanyalah sebuah bangunan yang sebenarnya telah memberikan gambaran bahwa sebuah kerusakan ekosistem alam telah terjadi.

Demikianlah dekonstruksi yang dibangun dalam naskah Dhemit karya Heru Kesawamurti ini. Mencoba meleraikan manusia dengan ketakutannya kepada mahluk halus yang tidak tampak, tetapi ketakutan akan keberlangsungan di abad pembangunan. Seharusnya setan, hantu, atau demit bukanlah hal yang menjadi musuh utama, tetapi menjadikannya sesama mahluk bumi yang terlempar dari surga dan membutuhkan alam sebagai paru-paru kehidupan. Musuh manusia bukanlah demit, bukan pada persolan demit itu nyata atau tidak tetapi kepada apa yang terjadi pada era pembangunan. Potret pembangunan dan manusia adalah sebuah contoh kecil menuju segala kerusakan dan pemusnahan.

Perbandingan Pemikiran Dekonstruksi pada Naskah Drama Setan dalam Bahaya karya Taufiq Al Hakim dengan Naskah Drama Dhemit karya Heru Kesawamurti

Perbandingan antara naskah drama "Setan dalam Bahaya" karya Taufiq Al Hakim dengan naskah drama "Dhemit" karya Heru Kesawamurti sebenarnya memiliki beberapa perbedaan, namun secara penyampaian dan sifat cendrung sama. Keduanya sama-sama cendung membahas soal kekejaman manusia dan semua kerusakan yang terjadi di muka bumi ini. Keduanya juga sama-sama menggunakan mahluk gaib yang disebut setan atau demit sebagai media pengantar.

Dari kedua naskah drama ini, peneliti melihat ada beberapa pemikiran yang coba dipertanyakan ulang. Yang pertama terkait keberadaan setan atau demit. Apakah mereka benar-benar musuh atau malah sebaliknya? Ataukah sama-sama mahluk bumi, tetangga yang berbeda alam. Tetapi satu nasib, yaitu sama-sama terlempar dari surga. Bedanya manusia lebih beruntung karena masih bisa kembali masuk surga, sementara setan sudah ditakdirkan untuk masuk kedalam neraka.

Kedua naskah drama ini juga menjelaskan bahwa sebenarnya sifat setan atau demit tidaklah lebih kejam dari pemikiran manusia. Taufiq Al Hakim hidup di tanah Arab yang telah melahirkan banyak sekali pemikir. Namun mereka saling terbecah belah oleh perang saudara. Itulah sebabnya kenapa tokoh Setan bertemu dengan tokoh seorang Filsuf dalam cerita "Setan dalam Bahaya." Namun Taufiq Al Hakim membuat kejutan dengan hasil akhit cerita yang sangat tidak tertebak. Setan tidak jadi meminta bantuan kepada Filsuf untuk berpikir. Sementara si tuan rumah berseteru dengan istrinya terkait rumah tangga. Seolah menegaskan bahwa yang membuat manusia sempurna di muka bumi ini bukanlah karena manusia berbeda dengan mahluk lain, tetapi karena manusia merasa memiliki apa-apa yang berada di bumi.

Heru Kesawamurti dengan naskah "Dhemit"-nya memiliki kesamaan yaitu mengaitkan manusia dengan mahluk halus seperti setan atau hantu. Yang mana bagi masyarakat Indonesia cerita semacam itu telah mengakar dari dahulu. Heru berpikir logis jika setan atau demit memang benar ada, dengan menggambarkan aktivitas, permasalahan, sampai struktur sosial mereka. Nyatanya penyajian seperti itu membuat naskah "Dhemit" bergenre komedi, tidak terbayang bagaimana suara ketawa penonton saat milhat naskah "Dhemit" ini dimainkan. Tapi kembali lagi kepada pembaca, apakah dialog-dialog satir dalam naskah ini disebut komedi atau malahan menjadi bahan renungan. Bahawa sebenarnya demit adalah manusia itu sendiri, karena cerita tentang Genderuwo, Wilwo, Egrang, dan Kuntilanak berasal dari cerita buatan manusia itu sendiri.

Sedikit berbeda tapi sama, naskah "Setan dalam Bahaya" dengan "Dhemit" ini terbilang satu benang lurus namun berbeda ujung. Dhemit karya Heru Kesawamurti lebih condong untuk mengkritik pemerintahan Orde Baru selama Bapak Pembangunan memimpin negara. Banyak ketimpangan-ketimpangan sosial yang terjadi. Di mana manusia Indonesia tidak lagi memegang teguh pendirian leluhur, tetapi malah merusaknya dengan kemodernan. Dan semua hinggar bingar tentang kehidupan mentereng yang semu.

Satu poin yang sama dalam kedua naskah drama ini adalah sama-sama membahas tentang sifat, pemikiran, dan kekuasaan manusia yang merusak. Keduanya sama-sama membawa gerakan perdamaian, mencintai kehidupan yang rukun dan membiarkan perbedaan sebagai ciri sebuah bangsa tanpa perang dan permusuhan. Jika Taufiq Al Hakim mendekonstruksi keberadaan Setan yang selalu membawa bencana peperangan, Heru Kesawamurti lebih memilih untuk mendekonstruksi demit yang menjadi tumbal atas keserakahan manusia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun