Current Ratio KRAS pada 2024 tercatat di angka 0,72. Dengan kata lain, aset lancar tidak cukup untuk menutupi kewajiban jangka pendek. Dalam kondisi normal, rasio ini seharusnya berada di atas 1,2 untuk menjamin likuiditas sehat. KRAS dalam kondisi ini praktis berada di ambang kesulitan bayar utang lancar—bahkan untuk menggaji karyawan atau membayar vendor.
3. Gross Profit Margin: Lemahnya Daya Saing Biaya Produksi
Margin laba kotor KRAS pada 2024 berada di kisaran 10,3%, angka yang sangat tipis untuk industri padat modal dan energi seperti baja. Rendahnya margin ini memperlihatkan dua hal:
- Inefisiensi biaya produksi, kemungkinan besar akibat struktur biaya energi, tenaga kerja, atau utilisasi pabrik yang tidak optimal.
- Kegagalan menaikkan harga jual karena kalah bersaing dengan baja impor, terutama dari Tiongkok dan India yang menawarkan harga lebih murah dan kualitas lebih stabil.
4. Return on Equity (ROE): Kinerja Investasi Pemerintah yang Merugi
ROE KRAS tercatat negatif — sekitar -37%. Ini mencerminkan setiap 1 dolar yang disetor negara sebagai modal, justru menghasilkan kerugian 37 sen. Dalam praktik dunia usaha, ini merupakan indikator fundamental kegagalan bisnis, dan bila KRAS adalah perusahaan swasta, ia kemungkinan sudah berada di bawah pengawasan kurator.
5. Utang ke Pemerintah: Ketergantungan Akut pada APBN
Lonjakan utang jangka pendek kepada pemerintah dari USD 117 juta (2023) ke USD 269 juta (2024) adalah sinyal bahaya fiskal. Ini bukan sekadar pinjaman; ini adalah subsidi terselubung. Pemerintah terjebak dalam moral hazard di mana bantuan terus digelontorkan tanpa evaluasi menyeluruh atas efektivitas manajemen dan transformasi model bisnis.
6. Arus Kas Operasi: Sumber Masalah Struktural
Di tahun 2024, arus kas operasi KRAS kembali defisit. Hal ini menunjukkan bahwa bahkan dalam menjalankan operasi dasarnya, KRAS tidak menghasilkan uang tunai bersih. Ketergantungan pada pendanaan eksternal untuk membiayai operasional menjadi pola berulang yang sangat berisiko.