Mohon tunggu...
M Agung Laksono
M Agung Laksono Mohon Tunggu... Mahasiswa yang suka nulis, diskusi, pantai dan main instagram.

Sekretaris Bidang Media dan Propaganda DPP GMNI. Disc: Tulisan bersifat pribadi, kecuali ada keterangan dibagian bawah artikel.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Krakatau Steel: Dari "Mother of Industry" ke Simbol Beban Fiskal?

4 Mei 2025   09:15 Diperbarui: 4 Mei 2025   09:12 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen pribadi: M Agung Laksono (tengah)

Opini Krakatau Steel

3 Mei 2025

Krakatau Steel: Dari "Mother of Industry" ke Simbol Beban Fiskal?

Oleh: Muhamad Agung Laksono, Eks Pengurus organisasi Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia, pemuda Cilegon.

Pendahuluan

Krakatau Steel (KRAS) adalah ironi panjang dari ambisi industrialisasi nasional yang tidak pernah tuntas. Digadang-gadang sebagai “mother of industry”, perusahaan baja milik negara ini seharusnya menjadi fondasi pembangunan sektor hilir — dari otomotif, konstruksi, hingga manufaktur berat. Namun, laporan keuangan tahun 2024 justru menyuguhkan potret buram dari entitas BUMN yang nyaris kehilangan alasan eksistensialnya.

Analisis Kinerja Keuangan: Cermin dari Disfungsi Struktural

1. Debt to Equity Ratio (DER): Tingkat Risiko Keuangan Tinggi

DER KRAS tercatat meningkat drastis menjadi 5,18 kali, jauh di atas batas ideal industri manufaktur (1–2 kali). Artinya, setiap 1 dolar modal sendiri “ditumpangi” utang sebesar USD 5,18. Ini menunjukkan leveraging ekstrem dan risiko solvabilitas jangka panjang yang sangat tinggi. Kenaikan DER ini terjadi bersamaan dengan penurunan ekuitas dari USD 487 juta (2023) menjadi USD 354 juta (2024), menandakan erosi modal akibat akumulasi kerugian yang terus membengkak.

2. Current Ratio: Mengkhawatirkan untuk Operasi Jangka Pendek

Current Ratio KRAS pada 2024 tercatat di angka 0,72. Dengan kata lain, aset lancar tidak cukup untuk menutupi kewajiban jangka pendek. Dalam kondisi normal, rasio ini seharusnya berada di atas 1,2 untuk menjamin likuiditas sehat. KRAS dalam kondisi ini praktis berada di ambang kesulitan bayar utang lancar—bahkan untuk menggaji karyawan atau membayar vendor.

3. Gross Profit Margin: Lemahnya Daya Saing Biaya Produksi

Margin laba kotor KRAS pada 2024 berada di kisaran 10,3%, angka yang sangat tipis untuk industri padat modal dan energi seperti baja. Rendahnya margin ini memperlihatkan dua hal:

- Inefisiensi biaya produksi, kemungkinan besar akibat struktur biaya energi, tenaga kerja, atau utilisasi pabrik yang tidak optimal.

- Kegagalan menaikkan harga jual karena kalah bersaing dengan baja impor, terutama dari Tiongkok dan India yang menawarkan harga lebih murah dan kualitas lebih stabil.

4. Return on Equity (ROE): Kinerja Investasi Pemerintah yang Merugi

ROE KRAS tercatat negatif — sekitar -37%. Ini mencerminkan setiap 1 dolar yang disetor negara sebagai modal, justru menghasilkan kerugian 37 sen. Dalam praktik dunia usaha, ini merupakan indikator fundamental kegagalan bisnis, dan bila KRAS adalah perusahaan swasta, ia kemungkinan sudah berada di bawah pengawasan kurator.

5. Utang ke Pemerintah: Ketergantungan Akut pada APBN

Lonjakan utang jangka pendek kepada pemerintah dari USD 117 juta (2023) ke USD 269 juta (2024) adalah sinyal bahaya fiskal. Ini bukan sekadar pinjaman; ini adalah subsidi terselubung. Pemerintah terjebak dalam moral hazard di mana bantuan terus digelontorkan tanpa evaluasi menyeluruh atas efektivitas manajemen dan transformasi model bisnis.

6. Arus Kas Operasi: Sumber Masalah Struktural

Di tahun 2024, arus kas operasi KRAS kembali defisit. Hal ini menunjukkan bahwa bahkan dalam menjalankan operasi dasarnya, KRAS tidak menghasilkan uang tunai bersih. Ketergantungan pada pendanaan eksternal untuk membiayai operasional menjadi pola berulang yang sangat berisiko.

Kritik Struktural: BUMN atau Beban Nasional?

Fenomena ini bukan sekadar masalah bisnis, melainkan simbol disfungsi kelembagaan BUMN. Proteksi terhadap KRAS melalui tarif anti dumping, prioritas proyek BUMN Karya, hingga pinjaman lunak dari negara telah gagal menciptakan kemandirian finansial. Bukan hanya KRAS tidak kompetitif, tapi juga menggerus efisiensi fiskal nasional.

Restrukturisasi yang dilakukan sejak 2020 hingga hari ini hanyalah pendekatan kosmetik. Utang direstruktur, manajemen dirombak, anak perusahaan dipisah, namun tidak ada perubahan dalam esensi: KRAS tetap tidak efisien dan tidak kompetitif.

Dampak Sistemik terhadap Perekonomian

1. Distorsi Pasar Baja Nasional: Keberadaan KRAS yang tidak efisien, namun terus didukung negara, menciptakan pasar baja yang tidak sehat. Produsen swasta harus bersaing dengan entitas yang bisa merugi selamanya tanpa bangkrut.

2. Tekanan terhadap APBN: Dengan defisit fiskal yang terus melebar, suntikan terhadap BUMN seperti KRAS harus dihitung sebagai opportunity cost besar — dana yang seharusnya bisa digunakan untuk pendidikan, kesehatan, atau subsidi UMKM.

3. Kehilangan Kredibilitas Reformasi BUMN: Janji transformasi Erick Thohir yang mengusung efisiensi dan transparansi BUMN dipertanyakan jika KRAS terus dipertahankan tanpa akuntabilitas.

Rekomendasi Strategis: Waktu untuk Tindakan Nyata

1. Evaluasi kelayakan keberlanjutan KRAS sebagai BUMN. Jika tidak mampu mencapai Break Even Point (BEP) dalam 2 tahun, opsi privatisasi atau divestasi harus ditempuh.

2. Pembentukan Task Force Independen, melibatkan akademisi, profesional industri baja, dan pakar keuangan publik untuk menyusun roadmap reformasi.

3. Transparansi total terhadap bantuan keuangan negara, baik dalam bentuk utang, jaminan, maupun subsidi tersembunyi.

4. Audit Forensik atas belanja modal dan utang restrukturisasi, untuk memastikan tidak ada kebocoran dan penyimpangan kebijakan.

5. Pemangkasan birokrasi dan penghapusan jabatan rangkap dari elite politik dalam tubuh manajemen dan komisaris BUMN.

Penutup

Sebagai seorang warga Cilegon yang tumbuh dari semangat aktivisme mahasiswa, saya percaya negara harus kuat. Tapi negara tidak akan kuat jika ia terus memelihara kelemahan struktural atas nama strategi nasional semu. KRAS tidak seharusnya terus bertahan hanya karena ia “BUMN strategis”. Tanpa perbaikan fundamental, Krakatau Steel bukan lagi "mother of industry", tapi simbol dari kegagalan industrialisasi yang dibiarkan berlarut-larut.

Waktunya kita bicara jujur: apakah kita mempertahankan KRAS demi nasionalisme kosong, atau berani memilih rasionalitas ekonomi demi masa depan fiskal yang sehat?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun