Zie mendulang semua kenangan, rasanya baru kemarin ia menimang bidadari mungil yang selalu menjadi pelepas laranya, masih terngiang jelas rengek manja dan tawa lucunya mengeja kata tanpa terbata. Masih tegar dalam ingatan saat merangkai cerita bersama sambil berpeluk mesra. Â
Zie seperti diempaskan dari ketinggian saat vonis dokter mengatakan tidak ada cara lain untuk menyelamatkan hidup bunga Anggreknya kecuali mengangkat satu netra. Zie merasakan sebilah pedang menghunjam dadanya, jiwanya terbang bersama pilu yang merenggut semua kisah manis Brassia. Seandainya bisa ingin Zie memberikan netranya untuk sang buah hati.
Zie terperanjat. Resah dalam hatinya terbaca pemilik brankar yang telah terbangun.
"Ya, sayang," ujar Zie lirih. Hatinya telah basah sedari tadi. Sementara jemarinya menyusur galeri ponsel dan menemukan tiga photo berurutan dari ekspresi menangis, sedih lalu datar milik Brassia. Dan mengirimnya pada kolom status di aplikasi hijau bulat.
"Bunda jangan menangis! Asi kuat, kok." Gadis kecil berwajah tirus itu mengusap pipi perempuan yang dipanggilnya bunda.
Zie merasakan hatinya makin perih, ia menatap bunga Anggreknya dengan pandang nanar. Lalu tertunduk. Air mata tak lagi mampu ia bendung. Tergugu di ujung brankar.
Malam kian larut. Tak lagi ada bingar mobilitas dalam ruangan. Dari balik bilik bersekat tirai kain warna biru pucat, terdengar dengkuran para penghuni brankar. Hening meski tidak sunyi. Segala rona semangat menghilang tiba-tiba dari jiwa Zie. Â Tak ada rasa dalam hatinya. Sepi ... sendiri. Ada luka yang tak menganga. Dalam sekejab turap telaga retak. Air menganak sungai pada pipi Zie. Â Membelah hati yang sungguh sedari tadi ingin menjerit. Dadanya kian sesak karena sedu sedan yang tertahan.
"Bunda." Suara lirih pemilik brankar terbangun. Menyadari ada hujan dari balik wajah malaikat tak bersayap yang selalu rela melakukan apapun untuknya.
Zie tak mampu menghentikan tangis. Memilih meniriskan seluruh genangan pada sudut mata untuk kemudian mengangkat wajah dengan senyum terbaik dari balik masker hingga matanya terlihat segaris saja.
Secepat retak bendungan di matanya secepat itu pula ia lipat segala gundah dalam hati hingga seolah tak ada beban dalam langkahnya.
"Asi tidur lagi, ya. Biar besok lebih segar. Bunda di sini jagain Asi," bisik Zie tetap dengan kerling lembut.