Mohon tunggu...
Tari Abdullah
Tari Abdullah Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Nama lengkap Mudjilestari tapi lebih sering disapa dengan Tari Abdullah profesi sebagai penulis, conten creator, dan motivator. Ibu dari 4 anak berstatus sebagai single parent. Berdarah campuran sunda - jawa.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kembang Kertas

20 Maret 2021   16:40 Diperbarui: 20 Maret 2021   17:08 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi/Kembang/photo:doc.pri

 Lembayung telah sempurna merengkuh bumi, seakan ikut merasakan resah yang betah bersemayam di hati Zie."Aku kuat, aku harus kuat." Zie terus merapal kalimat dalam hati. Sungging senyum tak lesap dari bibirnya. Sesekali matanya mengerjap manja. Tak sedikit pun tersirat pada bening retinanya, ada telaga yang siap tumpah dalam sekedip mata.'Aku Zinnia. Kata ibuku artinya 'Kembang Kertas'. Bunga cantik yang mampu bertahan untuk tetap cantik. Juga bertahan untuk tetap hidup hingga tumbuh Zinnia-Zinnia baru yang melanjutkan keberadaannya,' batinnya bermonolog menguatkan diri.

Entah dedoa seperti apa yang dirapal Zie dari barisan bangku di ruang tunggu. Sikapnya tenang seolah semua baik-baik saja. Namun, dari bening matanya ada gundah yang mencoba ia sembunyikan. Resah menunggu sosok berseragam biru muda keluar dari ujung selasar yang steril dari lalu lalang orang tak berkepentingan.

Mata tajam Zie menangkap sosok mungil yang menggapai seolah mengajaknya bercanda.

"Halo, main sama mama saja ya, Nak. Tante belum cuci tangan," ujar Zie tersenyum pada bayi yang terus saja meracau dengan celoteh lucunya. Pandemi membuatnya menjaga jarak sejauh mungkin dari orang lain.

"Namanya siapa, Cantik? Oya, tante punya boneka lucu,"  Zie menghibur sang bayi setelah mendapat izin tersirat dari mama sang balita. Tangannya mengorek dasar tas mencari boneka yang ia janjikan.

"Tabarakallah," pekiknya takjub saat bayi berusia dua tahun itu terkekeh setelah menerima boneka ikan paus.

Mata Zie memburam. Hatinya berdesir perih,  Pemilik boneka yang terbuat dari flanel biru itu, adalah alasannya untuk bertahan dalam kepura-puraan. Buru buru Zie mengarahkan pandangan ke langit-langit ruangan. Mencari titik manapun yang bisa menahan tanggul air matanya.l

Hampir seratus dua puluh menit ia berada di sini. Di antara orang-orang yang juga menunggu dalam gundah yang membuncah.   Hatinya kian resah, sosok berseragam tak juga menampakkan diri.

Perempuan bergamis coklat itu mengembuskan napas berat, setengah berbisik beristighfar. Menyerahkan segala kemungkinan  pada Pemiliknya.

Zie beringsut dari bangku ruang tunggu. Menyeret kakinya ke pojok pengisian batere. Ponselnya gelap sedari tadi, cemas jika dari ujung telepon lain ada yang berusaha menghubunginya. Matanya masih menyisir setiap ruangan berpintu akrilik tebal. Mengharap dari balik pintu bercat putih itu muncul sang buah hatinya.

"Kak, tolong teh manis hangat satu," pinta Zie pada penjaga kantin di pojok.

"Jangan terlalu panas." Zie melanjutkan ujar saat melihat teh pesanannya mengepulkan uap panas.

"Totalnya 30.000," kata penjaga kantin.

Zie mematung beberapa detik. Menatap kosong nampan berisi satu  cup teh manis hangat beserta 3 lembar tisu yang masih terlipat rapi. Jika tadi lambungnya menggigil, kini jemari Zie yang  gemetar demi mengorek uang 30.000 untuk satu cup teh manis hangat. Pikirannya melayang membayangkan sekotak berisi 30 kantong teh celup, satu  kilo gula pasir dan sebungkus water kesukaan putrinya. Zie lupa bahwa ia pun pernah membayar satu gelas air putih seharga 10.000 demi konten instragamable mengisi beranda sosial medianya.

Teh selesai dibayar. Zie kembali mengedarkan pandang. Matanya berbinar manakala sosok berseragam biru muda  membuka pintu akrilik bertuliskan Ruang Radiasi. Ia mengenali betul gadis kecil yang sedang didorong. Kabel pengisi daya segera dikemas dan dimasukkan ke dalam tas, lalu tergopoh menyusul brankar yang sudah setengah masuk ke dalam lift.

"Makasih ya, Sus, sudah banyak membantu kami," sapa Zie pada perawat yang masih memegangi brankar.

"Sama sama, Bu, dengan senang hati kami membantu." jawabnya.

Ponsel Zie berbunyi tepat ketika pintu lift terbuka. "Assalamu'alaikum, Mas," sapa Zie.  "Kakak baru saja selesai kemo," lanjutnya. Zie membiarkan perawat mendorong brankar, sementara ia berusaha bicara pada laki-laki yang menikahinya lima tahun lalu itu untuk mendapatkan kekuatan kembali. Saat gadis kecilnya terbangun nanti ia harus memiliki sejuta senyum untuk sang buah hati.

"Kakak masih bobo,  tapi badannya panas. Kata Suster efek kemo sih, Mas," ujar Zie manja, hanya dengan cara itu beban di pundaknya terasa sedikit terurai.

"Kamu yang sabar, ya, nanti malam mas usahakan pulang. Mas kangen kalian." Suara di seberang sana membuat bendungan Zie jebol, dengan kasar ia menyusut air matanya.

Di luar gelap merayap, mendung bergelayut menambah resah hati Zie. Namun, bukan Zie jika karena hal itu ia murung. Keresahan dalam hatinya segera ia bungkus rapi, lalu menyimpannya pada ruang istimewa dalam hati.

Zie menatap nanar pada tubuh ringkih yang tengah terlelap. Napas  panjang ia embuskan hingga paru parunya terasa lebih lega.  Kembang kertas tak akan layu, ia harus bisa bertahan untuk Brassia ... bunga Anggrek kesayangannya yang harus kehilangan sebelah matanya karena dimakan Blostoma.

Zie mendulang semua kenangan, rasanya baru kemarin ia menimang bidadari mungil yang selalu menjadi pelepas laranya, masih terngiang jelas rengek manja dan tawa lucunya mengeja kata tanpa terbata. Masih tegar dalam ingatan saat merangkai cerita bersama sambil berpeluk mesra.  

Zie seperti diempaskan dari ketinggian saat vonis dokter mengatakan tidak ada cara lain untuk menyelamatkan hidup bunga Anggreknya kecuali mengangkat satu netra. Zie merasakan sebilah pedang menghunjam dadanya, jiwanya terbang bersama pilu yang merenggut semua kisah manis Brassia. Seandainya bisa ingin Zie memberikan netranya untuk sang buah hati.

Zie terperanjat. Resah dalam hatinya terbaca pemilik brankar yang telah terbangun.

"Ya, sayang," ujar Zie lirih. Hatinya telah basah sedari tadi. Sementara jemarinya menyusur galeri ponsel dan menemukan tiga photo berurutan dari ekspresi menangis, sedih lalu datar milik Brassia. Dan mengirimnya pada kolom status di aplikasi hijau bulat.

"Bunda jangan menangis! Asi kuat, kok." Gadis kecil berwajah tirus itu mengusap pipi perempuan yang dipanggilnya bunda.

Zie merasakan hatinya makin perih, ia menatap bunga Anggreknya dengan pandang nanar. Lalu tertunduk. Air mata tak lagi mampu ia bendung. Tergugu di ujung brankar.

Malam kian larut. Tak lagi ada bingar mobilitas dalam ruangan. Dari balik bilik bersekat tirai kain warna biru pucat, terdengar dengkuran para penghuni brankar. Hening meski tidak sunyi. Segala rona semangat menghilang tiba-tiba dari jiwa Zie.  Tak ada rasa dalam hatinya. Sepi ... sendiri. Ada luka yang tak menganga. Dalam sekejab turap telaga retak. Air menganak sungai pada pipi Zie.  Membelah hati yang sungguh sedari tadi ingin menjerit. Dadanya kian sesak karena sedu sedan yang tertahan.

"Bunda." Suara lirih pemilik brankar terbangun. Menyadari ada hujan dari balik wajah malaikat tak bersayap yang selalu rela melakukan apapun untuknya.

Zie tak mampu menghentikan tangis. Memilih meniriskan seluruh genangan pada sudut mata untuk kemudian mengangkat wajah dengan senyum terbaik dari balik masker hingga matanya terlihat segaris saja.

Secepat retak bendungan di matanya secepat itu pula ia lipat segala gundah dalam hati hingga seolah tak ada beban dalam langkahnya.

"Asi tidur lagi, ya. Biar besok lebih segar. Bunda di sini jagain Asi," bisik Zie tetap dengan kerling lembut.

"Kepala Asi sakit, Bun," Rengekan Brassia dari bibir pucatnya membuat Zie makin tergugu.

"Sini bunda pijitin, biar Asi bisa bobo lagi,"Jemari lentik Zie meremas lembut kepala mungil Brassia yang tak lagi ditumbuhi rambut. Kulit putihnya makin terlihat pucat dengan lingkaran hitam menghias matanya yang tersisa.

Langit-langit ruangan seolah lebih rendah dan mengimpit. Hingga malam semakin menua, mata Zie tak juga sungguh-sungguh menjumpai pintu alam mimpi. Semakin dalam ia memejam semakin jauh pikirannya berkelana. Alas tidur yang ia bawa tak mampu menahan dinginnya lantai ruangan. Sementara bangku yang ada tak sepenuhnya menopang seluruh badan. Alhasil semalaman ia terjaga dengan sedikit lelap saat kantuk datang tak tertahan.

"Selamat malam, Bu.  Dokter Hendra visit," sapa perawat.

Zie menegakkan punggung, dokter berkacamata minus itu memaparkan diagnosa hasil tindakan kemoterapi.

"Maaf, Dok, saya kurang paham dengan istilah kedokteran. Jadi ini masalah utamanya hanya karena efek kemo yang sedikit lebih berat karena ada infeksi di pencernaan ya, Dok. Dan untuk selanjutnya Dokter Internis anak yang akan menganalisa apakah butuh tindakan bedah atau cukup rawat jalan dengan terapi obat-obatan, begitu?" Zie meminta penjelasan.

Malam memang sedikit mendung. Mungkin gemintang telah berpindah ke mata Zie hingga tiap kali mengerjap dunia terasa lebih benderang dengan ribuan harap yang seolah telah menemukan jalan.

Diagnosa dokter memang belum kata akhir. Namun, jauh lebih baik dari analisanya tenteng beberapa kemungkinan sebelum hasil kemoterapi ia dapatkan. Bahkan diantaranya membuat Zie tak mampu terlelap membayangkan proses panjang yang harus dilalui.

Zie tetap berusaha tersenyum karena ia yakin  esok mentari akan menjemput, ia juga tak mau menyerah apalagi layu saat kekasih jiwanya hampir tumbang. Ia harus tetap indah dan kuat selayak kembang kertas yang terus bertahan karena ia yakin Allah yang akan menjadikannya mampu untuk terus berdampingan dengan bunga Anggrek.kesayangannya.

Sidoarjo, 17 Maret 2021
#based on true story
#perjuangan seorang ibu mendampingi anaknya yang menderita tumor mata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun