Mohon tunggu...
Mudjilestari
Mudjilestari Mohon Tunggu... Freelancer - Author motivator and mompreneur

Author, motivator, and mompreneur

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pesan dari Puncak Sumbing

12 Agustus 2022   08:53 Diperbarui: 12 Agustus 2022   09:02 505
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku mengambil jeda dengan napas terengah. Tahun kemarin aku berhasil menahlukkan Gunung Slamet meski dengan perjuangan yang tidak mudah. Tenaga dan phisik telah dimakan usia. Meski penampilan boleh dipulas beberapa tahun lebih muda, tapi kekuatan tak bisa berbohong. 

Apalagi sehari-hari aku lebih banyak bekutat dengan naskah dan laptop ketimbang pekerjaan yang menggunakan phisik, dan itu cukup berpengaruh pada ketahanan kekuatan otot yang tak mau berkompromi untuk melakukan pendakian setinggi ini.Untuk bisa sampai di pos 3 Pestan Gunung Sumbing  melalui  Garung hanya butuh waktu sekitar 30 menit. 

Namun, untuk sampai di Pos 3 harus melalui tanjakan yang paling curam sebelum sampai di Pestan yang merupakan tanah datar cukup luas. Biasanya di pos 3 ini bisa menampung puluhan tenda. Para pendaki banyak yang mendirikan tenda disini, tapi pendaki juga harus berhati-hati karena di sini rawan badai dan kondisi lokasi tanpa pelindung apapun seperti pepohonan atau batu besar.

Setelah beristirahat beberapa menit setelah mendirikan tenda, Dio menoleh padaku sambil menyorongkan botol air mineral yang tinggal separuh.

"Gimana ... lanjut?" tanya Dio.

"Lanjut nggak, Ti?" Restu menoleh padaku menanti jawaban.

"Oke, lanjut," jawabku mantap.

"Yakin?" Restu meyakinkan.

"Insya Allah," jawabku sambil melangkah mendahului mereka. Kedua laki-laki yang setia menemani setiap pendakian sejak aku masih SMA itu mengekor di belakangku.

Jalur pendakian gunung Sumbing via Garung, merupakan jalur paling favorit bagi para pendaki, karena akses menuju basecamp tidak sulit ditemukan. Jarak basecam hanya 1 kilometer dari jalan utama Temanggung-Wonosobo dengan trek yang cukup menantang. Pemandangannya jangan ditanya. Para pendaki akan dimanjakan dengan hamparan lembah yang  sangat menakjubkan.

Gunung Sumbing adalah gunung  volcano aktif dan tertinggi kedua di jawa tengah setelah gunung Slamet. Gunung Sumbing yang memiliki ketinggian 3.371 Mdpl ini  masuk wilayah 3 kabupaten yaitu Kabupaten Magelang, Kabupaten Temanggung, dan Kabupaten Wonosobo.

"Hati-hati!" seru Dio mengingatkan, ketika melihat langkahku gamang mengambil pijakan.

"Ikuti aku!" perintah Restu, laki-laki bertubuh sedikit lebih pendek dari Dio melewati tubuhku yang kecil supaya bisa mengambil posisi di depan.

Aku mengikuti Restu dari belakang. Phisikku memang tidak lagi sekuat dulu saat masih menjadi anggota mapala, tapi kebersamaan dan persahabatan yang sesungguhnya justru aku rasakan saat berada dalam posisi saat ini. Beberapa kali aku sering mencuri waktu untuk sekadar mendiamkan kaki sejenak. Belum lagi cuaca dan medan yang harus ditempuh tidak selalu bisa diprediksi. Mendaki  gunung memang tidak semudah bayangan untuk mereka yang tidak terbiasa.

"Kalo capek istirahat aja dulu, Ti," ujar Dio berkali-kali menyampaikan, sepertinya dia sangat paham jika teman seperjuangannya berpuluh tahun lalu ini telah banyak berubah. Karena tidak terlatih. Berbeda dengan Dio dan Restu yang hingga usia senja menyapa masih perkasa menakhlukkan puncak yang satu ke puncak lainnya.

"Mendaki itu nggak usah terlalu ngoyo, nikmati perjalanan, kendalikan tenagamu," ujar Restu ketika kami beristirahat di pos 4

"Kita naik gunung itu, untuk menikmati keindahan alam, supaya kita bisa mensyukuri betapa agungnya ciptaan Allah, dan bukan berlomba."

Kata-kata itu yang selalu membuatku termotivasi untuk tidak menyerah, padahal napas ini serasa sudah di ujung tenggorokan. Namun, aku bersyukur, mereka yang sering mendaki gunung, tetapi tetap bersedia menungguku yang tidak sekuat mereka. Tidak ada alasan untuk mengeluh, kedua sahabatku itu  selalu memompakan semangat agar tidak menyerah.

"Mendaki gunung itu ada esensinya. Bukan siapa yang tercepat mencapai puncak, tapi bagaimana harus tetap mengontrol energi agar bisa tetap terjaga sampai tujuan,"ujar Restu yang terus menjajari langkahku.

"Seperti juga hidup, bukan siapa yang tercepat meraih kesuksesan, tapi bagaimana kita bisa menghargai setiap proses yang membawa kita pada puncak kesuksesan," lanjut Restu.

Aku mengangguk, jalur yang dilalui makin ekstrim melewati trek yang tanahnya miring dan berdebu karena saat ini adalah musim panas. Konon jika musim hujan sangat berbahaya.  Setelah menempuh perjalanan lebih dari 2 jam, kami sampai di batu besar yang menumpuk yang disebut Watu Kotak.

Dio menoleh padaku, meminta persetujuan apakah aku mau melanjutkan atau istirahat sejenak. Rasa penasaran membuatku memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Masih butuh sekitar 2 jam untuk sampai ke puncak. Dari tempat ini aku mulai bisa melihat bibir kawah secara samar-samar. Kepulan asap dan aroma kawah sangat menyengat.

Dio menyuruhku berhenti sesekali agar aku dapat menarik napas panjang. Kepulan asap beraroma belerang mulai menyesak dada, sementara jalan mendekati puncak makin berkelok dan penuh kerikil tajam. Alurnya juga makin curam dan yang paling menantang adalah ketika melewati tanah putih yang berada sekitar dua tanjakan sebelum mencapai puncak.

Tenaga yang terkuras seakan penuh kembali ketika sebuah papan penanda muncul di hadapanku. Artinya hanya beberapa puluh meter lagi sampai ke puncak. Kami memilih jalur menuju puncak kawah Sumbing yang tidak begitu popular. Ketika sampai di persimpangan tadi, Restu memutuskan untuk tidak memilih jalan menuju puncak satunya yang lebih banyak diminati pendaki lain. 

Dari sini, kepulan asap kawah yang tebal membuat gunung Sumbing terasa panas.  Aku membelakangi kawah, dan seketika memekik takjub. Pemandangan di hadapanku benar-benar membuatku sadar.  Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing seakan membentuk bentang alam gunung kembar yang sangat indah,  Menyihir pikiran dengan rasa kagum.  Betapa diri ini begitu kecil di tengah ciptaan-Nya yang Maha Agung.

Ada yang mengusik pandangan mata, ketika tatap ini terpaku pada seorang perempuan sepuh berusia sekitar enam puluhan tahun bahkan mungkin lebih. Sama sekali tidak menampakkan raga yang dimakan usia, tetap jumawa berdiri perkasa dengan senyum melengkung menghias wajahnya yang sebagian sudah dipenuhi keriput.

"Bu Yuni," sapaku sambil meraih tangannya, mencium punggung tangannya penuh takzim.

"Siapa?" balas perempuan sepuh itu dengan sorot ramah. Meski tak mengenaliku, tapi sikapnya tetap santun.

"Kita pernah bertemu di gunung Slamet setahun yang lalu. Saya Tiar dari Surabaya," ujarku berusaha menjelaskan.

"Oh, Maaf saya lupa," sesalnya masih dengan senyum ramah, "maklum saya sudah tua."

"Tapi justru Bu Yuni punya semangat yang lebih membara dibanding saya. Kalah jauh saya," kilahku merendah.

"Ha ha ha, Mbak Tiar bisa saja," gelaknya sambil tertawa dengan logat Purwokertonya yang sangat kental.

"Ibu sama anak-anak?" tanyaku lagi.

"Iya, saya sama anak-anak." Dengan ujung dagunya menunjuk dua orang laki-laki bertubuh kekar di sebelahnya. Aku mengangguk takzim pada kedua laki-laki itu.  

"Saya itu dari muda suka mendaki gunung, tapi waktu punya anak jadi mandeg karena anak masih kecil-kecil,  tapi saya ndak nyerah, keinginan saya untuk menaklukkan puncak-puncak terus saya pendam. Nah, sekarang anak-anak sudah besar baru saya bisa melanjutkan mimpi saya. Lha, wong mimpi itu kan harus dikejar to, Mbak."

Kalimat itu pernah Bu Yuni ucapkan saat pertama bertemu denganku di gunung Slamet setahun yang lalu. Ada yang menyelinap menggelitik hati. Seorang ibu sepuh dengan jiwa semangat yang masih membara mewujudkan mimpinya, merealisasikan hobi dan kegemarannya yang tertunda di usia yang melewati senja, bagiku itu menjadi inspirasi sendiri. Dan aku yakin, kedua laki-laki bertubuh kekar itu pasti bangga memiliki ibu seperti Bu Yuni.

Sedangkan aku ... jujur sangat iri dengan Bu Yuni. Apa yang aku lakukan di tempat ini. Meninggalkan semua keruwetan problematika hidup dengan mengatasnamakan liburan, healing istilah anak muda jaman sekarang. Namun, sekembalinya pada rutinitas masalah itu sesungguhnya tak pernah terurai.  

"Mendaki gunung itu bagi saya itu suatu kesenangan yang tidak bisa ditukar dengan uang, Mbak. Karena itu adalah ekspresi dari rasa syukur di usia tua seperti saya yang masih diberi kuat, sehat, dan kesenangan sama Gusti."  Bu Yuni berucap, rona bahagia jelas tergambar dalam setiap ucapan beliau, jiwa semangatnya berkobar memberi warna merah pada setiap ayunan kaki ringannya.

"Saya itu prihatin liat anak muda sekarang, lha wong banyak yang mendaki gunung cuma sebagai pelarian dari masalah. Akhirnya yang ndak nemu essensi dari kesenangan ketika bisa nyampe di puncak." Bu Yuni tersenyum, ada kibaran putih yang melambangkan kebersihan hati dan ketulusan dalam tiap tuturnya.

Aku merasakan kalimat ibu sepuh itu bagai pisau yang tepat menghujam ke ulu hati.  Begitu kerdilnya dan piciknya pikiran ini. Untuk apa menyiksa diri dengan melakukan  pendakian jika cuma ingin melepas semua keruwetan, untuk apa membuat tubuh lelah dengan penaklukan puncak dan meraih kemenangan semu.  Beberapa hari aku membelah lembah, mendaki tebing terjal hanya untuk mengalihkan penat dan beban hidup yang menyesakkan karena masalah anak-anak.

"Kemenangan itu bukan saat diri ini berada di puncak dalam gempita, melainkan saat kita bisa mengalahkan sisi lemah yang membuat kita hilang semangat saat mendapat kesulitan," pungkas Bu Yuni.

Aku menghela napas panjang, tiba-tiba aku rindu pada anak-anak. Jika Bu Yuni begitu menikmati kebersamaannya bersama anak-anaknya meski mereka telah dewasa, mengapa aku justru meninggalkan mereka dan mencari pelampiasan dengan cara yang seperti ini. Harusnya aku rangkul ketika mereka bermasalah, aku peluk ketika mereka hilang arah, bukan melarikan diri seperti ini.

Aku tergugu dalam isak sambil memeluk Bu Yuni.  Perempuan sepuh yang wajahnya selalu menyungging senyum itu mengelus bahuku. Setiap usap jemarinya seakan mengembalikan kembali semangatku yang sedang kehilangan kompas kehidupan. Wajah teduhnya mengembalikan kewarasanku untuk kembali pada kenyataan yang harus aku hadapi.

"Saya mau turun, tampaknya sebentar lagi kabut turun. Mbak Tiar mau ikut turun?" tanyanya sambil melepas pelukan. Aku menoleh pada Dio dan Restu, kedua sahabatku itu mengangguk sepakat.

Aku menuruni puncak kawah dengan perasaan yang lebih ringan, sepertinya bebanku telah terempas. Sepanjang jalan menurun perempuan sepuh itu sesekali menggandeng tanganku. Trek turun memang tidak lebih sulit dari saat mendaki, kami membutuhkan waktu tempuh lebih singkat daripada saat mendaki.

Tiba di pos 3 Bu Yuni pamit dan kembali ke tendanya. Aku memeluknya erat, mengucap sebaris pesan cinta dan terima kasih.

"Semoga kita bisa ketemu lagi di jalur pendakian yang lain ya, Mbak," ucapnya sebelum tubuh tua yang masih kuat itu menghilang dalam tenda. Aku mengangguk dan menatapnya dengan berbagai kecamuk yang menyesak.
"Semoga kita bertemu lagi, bukan cuma aku ...  kita bertemu di pendakian berikutnya bersama kedua anakku.  Seperti Bu Yuni yang selalu bersama kedua anak kebanggaannya," janjiku dalam hati.    

Magelang, 20 Agustus 2021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun