Mohon tunggu...
Mudjilestari
Mudjilestari Mohon Tunggu... Freelancer - Author motivator and mompreneur

Author, motivator, and mompreneur

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pesan dari Puncak Sumbing

12 Agustus 2022   08:53 Diperbarui: 12 Agustus 2022   09:02 505
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Ibu sama anak-anak?" tanyaku lagi.

"Iya, saya sama anak-anak." Dengan ujung dagunya menunjuk dua orang laki-laki bertubuh kekar di sebelahnya. Aku mengangguk takzim pada kedua laki-laki itu.  

"Saya itu dari muda suka mendaki gunung, tapi waktu punya anak jadi mandeg karena anak masih kecil-kecil,  tapi saya ndak nyerah, keinginan saya untuk menaklukkan puncak-puncak terus saya pendam. Nah, sekarang anak-anak sudah besar baru saya bisa melanjutkan mimpi saya. Lha, wong mimpi itu kan harus dikejar to, Mbak."

Kalimat itu pernah Bu Yuni ucapkan saat pertama bertemu denganku di gunung Slamet setahun yang lalu. Ada yang menyelinap menggelitik hati. Seorang ibu sepuh dengan jiwa semangat yang masih membara mewujudkan mimpinya, merealisasikan hobi dan kegemarannya yang tertunda di usia yang melewati senja, bagiku itu menjadi inspirasi sendiri. Dan aku yakin, kedua laki-laki bertubuh kekar itu pasti bangga memiliki ibu seperti Bu Yuni.

Sedangkan aku ... jujur sangat iri dengan Bu Yuni. Apa yang aku lakukan di tempat ini. Meninggalkan semua keruwetan problematika hidup dengan mengatasnamakan liburan, healing istilah anak muda jaman sekarang. Namun, sekembalinya pada rutinitas masalah itu sesungguhnya tak pernah terurai.  

"Mendaki gunung itu bagi saya itu suatu kesenangan yang tidak bisa ditukar dengan uang, Mbak. Karena itu adalah ekspresi dari rasa syukur di usia tua seperti saya yang masih diberi kuat, sehat, dan kesenangan sama Gusti."  Bu Yuni berucap, rona bahagia jelas tergambar dalam setiap ucapan beliau, jiwa semangatnya berkobar memberi warna merah pada setiap ayunan kaki ringannya.

"Saya itu prihatin liat anak muda sekarang, lha wong banyak yang mendaki gunung cuma sebagai pelarian dari masalah. Akhirnya yang ndak nemu essensi dari kesenangan ketika bisa nyampe di puncak." Bu Yuni tersenyum, ada kibaran putih yang melambangkan kebersihan hati dan ketulusan dalam tiap tuturnya.

Aku merasakan kalimat ibu sepuh itu bagai pisau yang tepat menghujam ke ulu hati.  Begitu kerdilnya dan piciknya pikiran ini. Untuk apa menyiksa diri dengan melakukan  pendakian jika cuma ingin melepas semua keruwetan, untuk apa membuat tubuh lelah dengan penaklukan puncak dan meraih kemenangan semu.  Beberapa hari aku membelah lembah, mendaki tebing terjal hanya untuk mengalihkan penat dan beban hidup yang menyesakkan karena masalah anak-anak.

"Kemenangan itu bukan saat diri ini berada di puncak dalam gempita, melainkan saat kita bisa mengalahkan sisi lemah yang membuat kita hilang semangat saat mendapat kesulitan," pungkas Bu Yuni.

Aku menghela napas panjang, tiba-tiba aku rindu pada anak-anak. Jika Bu Yuni begitu menikmati kebersamaannya bersama anak-anaknya meski mereka telah dewasa, mengapa aku justru meninggalkan mereka dan mencari pelampiasan dengan cara yang seperti ini. Harusnya aku rangkul ketika mereka bermasalah, aku peluk ketika mereka hilang arah, bukan melarikan diri seperti ini.

Aku tergugu dalam isak sambil memeluk Bu Yuni.  Perempuan sepuh yang wajahnya selalu menyungging senyum itu mengelus bahuku. Setiap usap jemarinya seakan mengembalikan kembali semangatku yang sedang kehilangan kompas kehidupan. Wajah teduhnya mengembalikan kewarasanku untuk kembali pada kenyataan yang harus aku hadapi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun