Mohon tunggu...
Muchamad Iqbal Arief
Muchamad Iqbal Arief Mohon Tunggu... Independent Content Writer

Halo, saya Iqbal Arief. Sebagai penulis aktif di Kompasiana, saya senang berbagi wawasan dan informasi menarik dengan para pembaca. Minat saya cukup luas, meliputi berbagai topik penting seperti marketing, finansial, prinsip hidup, dan bisnis. Melalui tulisan-tulisan saya, saya berharap dapat memberikan perspektif baru dan pengetahuan yang bermanfaat bagi Anda. Mari bergabung dalam perjalanan intelektual saya di Kompasiana, di mana kita bisa bersama-sama menemukan inspirasi dan wawasan baru dalam berbagai aspek kehidupan dan karier. Selamat membaca!

Selanjutnya

Tutup

Money

Cerita Gaji Pertama: Kisah Joni Menggapai dan Melepaskan

28 Mei 2025   13:10 Diperbarui: 28 Mei 2025   13:10 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terlalu sering hidup ini memberikan pelajaran dengan cara yang keras. Seperti halnya Joni, pria berusia 27 tahun yang baru saja memasuki dunia kantoran dengan optimisme penuh. Namun di balik senyumnya yang lebar seusai menerima amplop gaji pertama, ada beban yang tersembunyi---sebuah cerita yang mungkin akan terasa familiar bagi banyak dari kita.

 Amplop Pertama, Tanggung Jawab Berlipat

Joni membuka amplop gajinya dengan jantung berdegup kencang. Rp 7.500.000 --- jumlah yang menurutnya cukup besar untuk ukuran fresh graduate seperti dirinya. Jauh di dalam hati, ia sudah memiliki rencana untuk uang tersebut: membelikan ibu sebuah kulkas baru, membantu biaya sekolah adik, dan mungkin menyisihkan sedikit untuk dirinya sendiri.

"Akhirnya," bisiknya pelan, "Aku bisa membantu keluarga."

Joni adalah definisi nyata dari sandwich generation. Di usia mudanya, ia harus menopang kehidupan orang tuanya yang sudah memasuki masa pensiun, sementara juga membantu adiknya yang masih kuliah. Bahkan sebelum amplop itu dibuka, sebagian besar uangnya sudah teralokasikan untuk kebutuhan keluarga.

 Bisikan Investasi dan Jeratan FOMO

Saat makan siang di kantor, Joni sering mendengar rekan-rekannya berbicara tentang investasi saham, kripto, dan berbagai instrumen keuangan yang asing di telinganya.

"Eh, kamu belum investasi? Sekarang lagi booming lho! Teman aku dapat 20% dalam sebulan," cerita Dani, rekan kerjanya, sambil menunjukkan portofolio investasinya yang hijau.

Bisikan-bisikan ini terus menggelitik pikiran Joni. Takut ketinggalan, fear of missing out atau FOMO menguasainya. Dengan sisa uang yang dimiliki, sekitar Rp 1.200.000, Joni memutuskan untuk terjun ke dunia investasi kripto yang sedang hype saat itu.

"Tinggal beli aja, tunggu naik, terus jual! Gampang kan?" begitu yang Joni pahami dari percakapan teman-temannya.

 Jatuh Bangun dalam Dunia Investasi

Tanpa riset, tanpa pengetahuan, tanpa strategi---Joni menanamkan uangnya dalam sebuah koin kripto yang sedang ramai dibicarakan. Angka-angka hijau di aplikasinya pada minggu pertama membuatnya semakin yakin. Keuntungan 15% dalam seminggu!

"Kalau begini terus, dalam sebulan uang aku bisa bertambah dua kali lipat," pikir Joni dengan mata berbinar.

Namun, hukum Murphy seakan berlaku untuk pemula sepertinya. Di akhir minggu kedua, pasar kripto mengalami koreksi besar-besaran. Grafik hijau berubah menjadi merah menyala. Investasi Joni tergerus hingga tersisa separuhnya.

Panik. Joni tak bisa tidur malam itu. Uang yang seharusnya bisa ia gunakan untuk membantu keluarga atau paling tidak untuk tabungan darurat, kini tergerus oleh sesuatu yang bahkan tidak sepenuhnya ia pahami.

 Ketika Kenyataan Menghantam

"Koin ini pasti akan naik lagi," Joni meyakinkan dirinya sendiri setiap hari, sambil terus memantau grafik yang tak kunjung membaik.

Tiga bulan berlalu, dan investasinya kini hanya bernilai Rp 300.000 dari Rp 1.200.000 yang ia tanamkan. Di saat yang bersamaan, kulkas di rumah ibunya mogok total. Adiknya memerlukan biaya untuk membeli buku semester baru. Dan Joni? Ia bahkan belum memiliki dana darurat sama sekali.

Malam itu, di kamar kosnya yang sempit, Joni menatap langit-langit dengan pandangan kosong. Air mata mengalir perlahan di pipinya. Bukan hanya karena investasi yang gagal, tapi juga karena tanggung jawab yang terasa semakin berat.

"Seandainya aku tidak terburu-buru... Seandainya aku belajar lebih banyak... Seandainya aku tidak terpengaruh FOMO..."

 Bangkit dari Kegagalan

Kegagalan pertama Joni mengajarkannya pelajaran yang berharga. Hari-hari berikutnya, ia mulai membaca buku dan artikel tentang investasi. Ia menghadiri webinar gratis tentang keuangan personal. Ia bahkan mulai mencatat setiap pengeluarannya, sesuatu yang tak pernah ia lakukan sebelumnya.

Gaji kedua datang, dan kali ini Joni memiliki strategi yang lebih matang. Ia mengalokasikan 50% untuk keluarga, 30% untuk tabungan darurat, dan 20% untuk dirinya sendiri, termasuk sedikit untuk investasi yang lebih aman seperti reksa dana.

"Aku akan membangun fondasi keuangan yang kuat terlebih dahulu," tekadnya dalam hati.

Baca juga: Warisan untuk Anak: Membangun Gunung Emas lewat Tabungan Emas

 Pesan untuk Kamu yang Sedang Berjuang

Cerita Joni mungkin terasa familiar bagi banyak dari kamu yang juga sandwich generation, yang terjebak di antara tanggung jawab terhadap orang tua dan adik, sambil berusaha membangun masa depan sendiri.

Jika kamu baru memasuki dunia kerja dan menerima gaji pertama, ingatlah beberapa hal berikut:

1. Prioritaskan dana darurat. Sebelum terjun ke berbagai instrumen investasi, pastikan kamu memiliki dana untuk berjaga-jaga selama minimal 3-6 bulan pengeluaran.

2. Edukasi diri sebelum investasi. Jangan investasi hanya karena teman-temanmu melakukannya. Pahami dulu produknya, risikonya, dan apakah sesuai dengan profil risiko dan tujuan keuanganmu.

3. Waspadai FOMO. Fear of missing out sering membuat kita mengambil keputusan yang terburu-buru. Ingat, kesuksesan investasi bukanlah tentang siapa yang paling cepat masuk, tapi siapa yang memiliki strategi jangka panjang yang paling matang.

4. Komunikasikan dengan keluarga. Jika kamu sandwich generation seperti Joni, komunikasikan dengan baik mengenai batasan dan kemampuan keuanganmu. Bantu keluarga, tapi jangan sampai mengorbankan masa depanmu sendiri.

5. Pelan-pelan namun pasti. Membangun kekayaan adalah maraton, bukan sprint. Konsistensi dan disiplin lebih penting daripada keuntungan besar dalam waktu singkat.

Gaji pertama memang selalu terasa istimewa. Namun, bagaimana kamu mengelolanya akan menentukan bagaimana kondisi keuanganmu di masa depan. Seperti Joni yang belajar dari kegagalannya, kamu pun bisa mengambil pelajarannya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun