Mohon tunggu...
Muara Alatas Marbun
Muara Alatas Marbun Mohon Tunggu... Guru - Alumni U Pe' I

Seorang lulusan yang sudah memperoleh pekerjaan dengan cara yang layak, bukan dengan "orang dalem", apalagi dengan "daleman orang"

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pekerja Lansia, antara Ageisme dan Eksistensi Mereka

14 Mei 2020   10:32 Diperbarui: 14 Mei 2020   10:25 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by Asantha Abeysooriya (unsplash.com/beNiTTa8Pp8)

Untuk Satgas COVID-19 yang tengah bekerja, pekerja lansia punya dua hal yang serupa dengan pekerja usia produktif: Mereka manusia yang hidup dan mereka butuh bekerja agar dapat uang.

Ketika saya ketik tulisan yang berkaitan tentang izin Satgas COVID-19 mengenai dibolehkannya pekerja usia produktif untuk bekerja, yang ditambah dengan anjuran untuk lansia yang masih bekerja untuk tetap melanjutkan kegiatan #dirumahaja membuat saya sedikit protes. 

Di lubuk hati yang terdalam, saya meyakini ekonomi rakyat akhirnya bisa bergerak, namun ada yang tidak disadari oleh Satgas COVID-19. Sebagian besar dari pekerja kita adalah pekerja 'padat karya', dimana mereka harus benar-benar bekerja untuk dapat uang. Ngga' kerja ngga' dapat uang.

Berbeda dengan orang yang sudah dijamin pemerintah seperti pejabat resmi dan aparat. Gaji pokok tersedia tiap bulan tak peduli seberapa maksimal mereka bekerja, belum THR atau bonus yang diterima bilamana melaporkan hasil pekerjaan yang optimal.

Pekerja lansia tidak seluruhnya bekerja untuk pabrik yang menyediakan gaji dan uang pesangon --bila di-PHK, ada yang bekerja untuk keluarga, ada yang dibantu buruh usia produktif, bahkan ada yang menjadi pengusaha dan freelancer. 

Menurut Pusparisa (pada katadata.co.id, 2019) pada tahun 2018, pekerja lansia berjumlah sekitar 12,19 juta jiwa. Paling banyak bekerja dengan status "berusaha dibantu buruh", yang dalam pengertian singkat bisa dikatakan "lansia yang memiliki asisten".

Meskipun begitu, perilaku pemerintah bisa dianggap sebagai bentuk ageisme terhadap sebagian para lansia yang tergolong masih mandiri dan beban hidupnya tidak ditanggung langsung oleh negara. 

Ageisme sendiri adalah pandangan yang akhirnya menjadi bentuk diskriminasi terhadap individu berdasarkan usia (remotivi, 2019). Pandangan inilah yang perlu diminimalisir dalam pemberitaan di media atau anggapan dari berbagai lembaga negara terhadap lansia yang masih bekerja.

Kehadiran pekerja lansia nyatanya tetap dibutuhkan karena dua hal, masih kompeten dan urgensi lansia pada kebutuhan ekonomi. Data dari AHRI (Organisasi di Australia) menunjukkan bahwa hampir 60% penduduk Australia yang menjadi responden cenderung mempercayai lansia dalam pekerjaanya, pernyataan "kepercayaan" ini didukung dengan pernyataan satu perusahaan jamu dan farmasi di Indonesia (Kontan.co.id, 2019). 

Memenuhi untuk kebutuhan ekonomi menjadi faktor utama dari lansia untuk terus bekerja --meski secara usia dalam ilmu ekonomi makro sudah tidak dianggap produktif- karena dianggap menjadi perkara yang penting jika bisa mendedikasikan diri untuk bekerja (Waskito, 2015).

Pernyataan Satgas COVID-19 mengenai izin bekerja bagi penduduk usia produktif merupakan strategi yang mungkin membuka jalannya perekonomian kembali normal. 

Di sisi lain, itupun menyingkirkan kesempatan pekerja lansia, dan lucunya protokol kesehatan dan pencegahan virus corona tetap berlanjut meskipun bekerja. Hal ini berarti ada yang tidak dipertimbangkan oleh satgas tersebut.

Jika yang dibicarakan adalah masalah "paling rentan penyakit", orang-orang usia produktif pun juga sama-sama bisa terkena virus corona seperti orang-orang lansia. Seharusnya izin yang dipaparkan tidak bias dan harus komprehensif, sebisa mungkin dengan memperhatikan kebutuhan yang seragam antara kelompok usia produktif dengan lansia. 

Jika pemerintah memberi izin pada pekerja usia produktif untuk bekerja secara mandiri demi menghindari penurunan produktivitas kerja dan menormalisasi ekonomi dan finansial mereka, maka pemerintah harus melakukan sesuatu yang cocok bagi lansia demi meningkatkan harapan rakyat pada negara.

Sesungguhnya pemerintah lewat Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) sudah menyusun program yang penting bagi pemberdayaan pekerja lansia (Liputan 6, 2017). 

Namun nyatanya, program ini seakan "mati" dalam wabah COVID-19 dan berlanjut hingga izin bekerja dari Satgas COVID-19 keluar beberapa hari yang lalu. Pemerintah perlu ingat bahwa pekerja lansia pun perlu bekerja jika ingin mengurangi beban sosial yang dialami karena faktor pandemi.

Referensi :

Katadata
Video YouTube Remotivi (#Ageisme -- Diskriminasi Usia, Emang Ada ?)
Liputan6.com
Kontan
Jurnal dari Universitas Muhammadiyah Surakarta

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun