Oleh : Mualif Hida
Sudah ketiga kalinya hari ini, aku mengembik memohon agar Bapak melamarkan lelaki jangkung itu padaku. Bapak kekeh menolak permintaanku dengan dalih kami tak akan bisa bersatu, karena mitos yang ada di desaku. Pager.
Mitos ini bermula saat seorang sakti, Ki Ageng Si Lo yang berasal dari Punthuk Si Lo ---wilayah Pager--- gagal besanan dengan Ki Ageng Gudhuk---yang sama saktinya---berasal dari Ghuduk, Payaman. Sebelumnya, Ki Ageng Gudhuk memberi ketentuan mahar berupa lumbung berisi penuh padi yang bisa berjalan sendiri.
Namun, entah apa yang terjadi, lumbung yang ia arak ke rumah Ki Ageng Gudhuk, tidak berisi penuh padi, melainkan jerami di bagian bawah, dan padi di bagian atas. Hal ini meledakkan amarah Ki Ageng Gudhuk karena merasa dihina. Lantas terjadilah peperangan hebat antara keduanya. Mereka juga saling melempar sumpah serapah, salah satunya adalah bahwa Pager dan Payaman tidak akan bisa bersatu dalam beberapa hal, salah satunya pernikahan. Mitos itu terus dipercaya hingga sekarang.
Pendapat Bapak sekokoh tiang-tiang kandang kambing di samping kebun sana, sekitar sepuluh meter ke kiri bangunan rumah. Kandang itu telah berdiri sejak aku belum menginjak muka dunia. Keluargaku terkenal 'Juragan Kambing'.
"Udah lah, nduk," bujuk Bapak meyakinkanku, "udah berapa kali Bapak bilang, kalian nggak akan bisa bersatu. Adat itu mengikat, Sar." Tangan Bapak kini menjangkau gelas kopi di hadapannya. Perlahan cairan kental hitam itu berbaris masuk ke mulut Bapak, disertai suara khas yang dihasilkan bibir yang bersinggungan.
"Tapi, Pak," sanggahku, "aku udah ngerasa cocok sama dia. Lagipula, sudah berkali-kali aku dicap sebagai perawan tua, apa Bapak tega kalau anak gadisnya dinyinyiri kayak gitu?"
Aku sudah muak dengan cemoohan itu. Sejak menginjak seperempat abad dua tahun lalu, para tetangga mulai mencibirku demikian. Bukannya aku tidak laku, hanya saja aku belum menemukan yang cocok.
Bapak keras menolak permohonanku, persis waktu Bapak melarang anak buahnya memberi pakan daun singkong mentah buat kambingnya. Bapak lebih percaya mitos daripada anaknya sendiri.
"Wes wes, kalo dibilangin itu nurut. Ini demi kebaikanmu, juga kebaikan keluarga kita," lalu Bapak menyesap kretek dalam-dalam, "kamu mau martabat keluarga kita anjlok setelah Bapak melamarkannya buatmu?" Keputusan Bapak sudah bulat, sebulat kepala plontosnya.
"Awakmu boleh menjadikan siapa saja suamimu, asal jangan dari Payaman, wong kita ini orang Pager." Asap mengepul dari mulut dan lubang hidungnya seolah ikut membenarkan nasihat Bapak.