Selama lebih dari dua dekade saya berkecimpung dalam dunia perkebunan kelapa sawit, khususnya di wilayah Sumatera Utara dan Sumatera Selatan. Tak terhitung diskusi dan tanya jawab yang saya ikuti, baik di forum resmi maupun percakapan santai di pos jaga kebun, yang mempertanyakan satu hal mendasar: "Apa jadinya jika seluruh perkebunan sawit kita dikembalikan menjadi hutan?"
Pertanyaan ini tidak hanya sarat nuansa ekologis, tetapi juga penuh konsekuensi sosial dan ekonomi yang kompleks. Isu ini memang kerap dimunculkan dari kekhawatiran terhadap deforestasi, konflik lahan, hingga kerusakan keanekaragaman hayati. Namun sebagai praktisi lapangan, saya percaya bahwa persoalan ini tidak bisa dijawab dengan jawaban singkat dan solusi hitam-putih. Kita perlu pendekatan holistik, menyeluruh, dan berpihak pada keadilan---baik untuk alam maupun untuk manusia.
Beberapa Aspek antara Kepentingan Ekologis dan Ekonomi Antara Hutan dan Sawit
1. Realitas Ekonomi Sawit -- Antara Harapan dan Ketergantungan
Di Sumatera, dan juga di sebagian besar sentra sawit Indonesia, ribuan bahkan jutaan keluarga hidup dari sawit. Mereka bukan konglomerat atau investor asing, melainkan petani lokal yang mengelola 1-5 hektare lahan dengan penuh harap. Asap dapur yang tetap mengepul, anak-anak yang bersekolah, dan rumah tempat tinggal yang dibangun adalah hasil dari perkebunan sawit mereka.
Menghapus sawit berarti menghapus mata pencaharian mereka. Pertanyaannya, siapkah negara menyediakan alternatif pekerjaan atau pendapatan jika kebun-kebun ini ditutup dan dialihfungsikan menjadi hutan kembali? Atau, lebih jauh lagi, apakah negara siap menanggung dampak sosial dari kehilangan pendapatan massal di sektor ini?
Sering kali, masyarakat desa tidak memiliki akses yang cukup ke pendidikan atau pelatihan kerja formal. Bagi banyak dari mereka, berkebun adalah satu-satunya keterampilan yang dikuasai. Maka ketika sawit dilarang atau dibatasi tanpa transisi yang adil, mereka bukan hanya kehilangan pekerjaan, tetapi juga identitas dan rasa percaya diri sebagai bagian dari rantai ekonomi produktif.
2. Sawit dan Efisiensi Lahan -- Perspektif Global yang Terlupakan
Kelapa sawit sudah banyak disudutkan di dalam wacana global sebagai penyebab deforestasi. Kenyataannya jika dilihat dari sisi efisiensi produksi tidaklah seperti itu. Sawit merupakan tanaman penghasil minyak nabati paling produktif jika disandingkan dengan kedelai atau biji-biji penghasil minyak lainnya. Sawit mampu menghasilkan empat hingga sepuluh kali lipat lebih banyak minyak per hektare.
Jika sawit diganti dengan tanaman lain, maka lahan yang dibutuhkan akan berlipat ganda. Artinya, tekanan terhadap hutan justru bisa semakin besar jika dunia beralih dari sawit ke alternatif yang kurang efisien. Ini adalah paradoks yang jarang disuarakan secara jujur dalam debat publik.
Tanaman alternatif juga cenderung membutuhkan air lebih banyak, pupuk yang lebih mahal, dan waktu panen yang lebih lama. Dengan pengelolaan yang tepat, sawit sebenarnya dapat menjadi pilihan yang paling masuk akal secara ekologis dan ekonomis.