Sebagai seorang profesional yang lebih dari tiga dekade bergelut di dunia perkebunan---khususnya pada komoditas kelapa sawit, karet, kopi, dan kakao---saya menyadari bahwa setiap jenis tanaman memiliki sejarah panjang yang membentuk wajah industri hari ini. Dari semua komoditas tersebut, tersebutlah salah satu komoditas yang lumayan unggul di Indonesia sejak zaman dahulu--teh, sebuah tanaman ikonik yang pernah dan masih menjadi diva ekspor sekalipun digempur oleh zaman, mulai dari zaman Hindia Belanda hingga saat ini.
Saya memang bukan praktisi langsung dalam industri teh, namun sebagai sesama pelaku dunia perkebunan, saya mengamati dinamika perjalanannya dengan seksama. Perbedaan antara perkebunan teh pada masa kolonial Belanda dan perkebunan teh di era modern Indonesia tidak sekadar terletak pada alat atau sistem kerja. Bisa dikakatakan, teh mencerminkan perubahan cara pandang dalam hal kepemilikan, MSDM (Manajemen Sumber Daya Manusia), teknologi, dan adaptasi pasar.
Artikel ini saya tulis sebagai refleksi historis sekaligus pembelajaran penting, agar kita tidak hanya menikmati secangkir teh di pagi hari, tapi juga memahami kisah panjang di balik setiap helai daunnya.
Teh di Masa Kolonial -- Simbol Kekuasaan dan Eksploitasi
Namun di balik cerita sukses ekspor teh ke Eropa, tersimpan kenyataan pahit: eksploitasi tenaga kerja dan sistem tanam paksa (cultuurstelsel). Rakyat pribumi dipaksa untuk menanam tanaman ekspor seperti teh dan kopi demi kepentingan ekonomi kolonial, bukan untuk kesejahteraan mereka sendiri. Sistem ini dijalankan dengan tekanan, pemaksaan, dan nyaris tanpa perlindungan sosial.
Sebagian besar perkebunan dikelola oleh perusahaan dagang Belanda seperti NHM (Nederlandsche Handel-Maatschappij) atau perkebunan swasta Eropa yang mendapat konsesi dari pemerintah kolonial. Para mandor dan pemilik kebun memiliki kekuasaan nyaris absolut atas buruh, dan keseimbangan ekonomi lebih mirip piramida ketimpangan ketimbang kolaborasi produktif.
Sebagai orang yang telah mengelola ribuan hektar perkebunan di masa modern, saya sering membayangkan: betapa jauhnya dunia perkebunan kita saat ini dari model kolonial yang eksploitatif itu.
Transformasi Teh di Masa Kini -- Antara Peluang dan Tantangan
Setelah kemerdekaan, seluruh struktur kepemilikan dan tata kelola perkebunan teh mulai berubah. Pemerintah Indonesia mengambil alih banyak aset perkebunan kolonial, yang kemudian dikelola oleh BUMN seperti PT Perkebunan Nusantara (PTPN). Di sisi lain, mulai muncul pula petani teh rakyat yang mengelola lahan-lahan kecil di dataran tinggi seperti di Pangalengan, Ciwidey, hingga Solok.
Kini, sistem produksi teh tidak lagi sepenuhnya terkonsentrasi di tangan korporasi besar. Banyak perusahaan swasta nasional, koperasi petani, dan pelaku UMKM yang berkontribusi terhadap rantai pasok teh nasional. Hal ini merupakan kemajuan signifikan dari sisi inklusivitas ekonomi.
Namun, perubahan zaman juga membawa tantangan baru: persaingan global yang ketat, perubahan iklim, serta tuntutan pasar yang semakin tinggi terhadap kualitas dan keberlanjutan. Konsumen teh dunia kini tidak hanya mencari produk murah, tapi juga yang berasal dari sumber yang etis, ramah lingkungan, dan bisa ditelusuri asal-usulnya (traceability).