Sebagai orang yang lahir di kaki hutan, saya sangat memahami betapa berharganya keberadaan hutan tropis. Tapi mari kita jujur: mengembalikan kebun sawit menjadi hutan primer adalah hal yang nyaris mustahil dalam jangka pendek. Menghuntankan kembali tidak hanya soal menanam pohon dan membiarkannya tumbuh---proses ini bisa memakan waktu yang lama mulai dari berpuluh tahun atau lebih. Ekosistem yang ingin dibentuk di dalamnya, itu yang menjadikannya butuh waktu selama itu.
Dalam banyak proyek reboisasi yang pernah saya saksikan, lahan eks-sawit biasanya hanya ditanami pohon industri seperti akasia atau pinus. Hutan semacam ini tidak bisa menggantikan keragaman dan fungsi ekologis hutan hujan tropis. Ia hanyalah bentuk lain dari monokultur.
Lebih dari itu, banyak lahan sawit berada di atas tanah adat, tanah ulayat, atau tanah masyarakat yang belum sepenuhnya memiliki kepastian hukum. Jika pemerintah mengkonversi lahan sawit menjadi hutan tanpa rekognisi terhadap hak masyarakat adat, maka konflik agraria hampir pasti terjadi. Kita tidak ingin solusi lingkungan menjadi sumber ketidakadilan sosial yang baru.
4. Infrastruktur dan Dampak Sosial Positif dari Kehadiran Sawit
Kita tidak bisa menutup mata terhadap dampak positif yang dihasilkan industri sawit. Selama dua dekade terakhir, keberadaan perkebunan telah membawa transformasi infrastruktur di banyak desa yang sebelumnya terisolasi. Jalan-jalan tanah berubah menjadi jalan rabat beton. Jembatan kayu diganti jembatan besi. Listrik masuk. Sinyal internet menyusul.
Banyak fasilitas umum---sekolah, klinik, hingga masjid---dibangun dengan dana CSR perusahaan perkebunan. Bahkan di beberapa daerah, operasional ambulan desa dan beasiswa pendidikan dibiayai oleh hasil sawit.
Jika sawit dihentikan total, dari mana sumber pengganti pendanaan pembangunan desa akan datang? Apakah program-program sosial ini akan tetap berjalan tanpa sokongan industri?
Menuju Perkebunan Sawit Berkelanjutan -- Bukan Mimpi, Tapi Keniscayaan
Solusi yang harusnya bisa kita pilih secara bijak bukanlah antara memilih hutan atau sawit, melainkan menangani sawit dengan cara yang jauh lebih baik. Konsep sawit berkelanjutan bukan lagi wacana, tetapi kenyataan yang mulai dipraktikkan di berbagai tempat.
Sertifikasi ISPO dan RSPO mendorong perusahaan dan petani untuk memperhatikan prinsip lingkungan, hak pekerja, dan pemberdayaan masyarakat. Perusahaan mulai melindungi kawasan bernilai konservasi tinggi, membangun koridor satwa, dan mengurangi penggunaan bahan kimia secara drastis.
Saya pernah mengunjungi kebun plasma yang menerapkan sistem agroforestri---menggabungkan sawit dengan tanaman seperti jengkol, petai, dan pohon buah lokal. Hasilnya luar biasa: produktivitas meningkat, keragaman hayati terjaga, dan petani memiliki sumber pendapatan tambahan.