Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Halo Lokal Pilihan

Ketika Seorang Lansia Batak Terdampar di Stasiun Cirebon Kejaksan

19 September 2025   13:38 Diperbarui: 19 September 2025   16:31 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Selasar dalam gedung Stasiun Cirebon Kejaksan, sore Rabu 30 Juli 2025 (Dokumentasi Pribadi)

Ketika arsitek Pieter Adriaan Jacobus Moojen (1879-1955) merancang dan membangun Stasiun Cirebon Kejaksan tahun 1911-1912, pastilah tak terpikir olehnya bahwa seabad lebih kemudian ada seorang lansia Batak terdampar di sana, terkagum-kagum pada bangunan art deco itu. 

Sebab jangankan terpikir begitu, ada etnis Batak pun belum tentu Piet, panggilan akrabnya, tahu. Jarak main arsitek cum pelukis dan penulis ini gak jauh-jauh amat dari Batavia, Jawa Barat, dan Bali. Gak pernah ke Danau Kaldera Toba.

Piet adalah arsitek yang membangun kawasan Gondangdia dan Menteng. Kantornya dulu, NV Bowpleg -- "Boplo" kata orang Betawi -- adalah Mesjid Cut Mutiah yang sekarang. Gedung lain hasil karyanya adalah Kantor NILLMIJ Batavia, sekarang  kantor pusat PT Jiwasraya di Jalan Juanda.

Dengan gaya art deco, Stasiun Cirebon Kejaksan merupakan warisan sekaligus ikon arsitektur modern dari Piet untuk Indonesia merdeka. Dia dikenal sebagai pembawa mashab modernisme dalam arsitektur Hindia Belanda. Stasiun itu salah satu jejak monumentalnya. 

Gaya art deco itu tampak jelas pada fasad stasiun yang tegas dengan garis-garis lurus dan pola persegi. Dua menara kembar, kiri dan kanan, mengapit bangunan hall yang lebih tinggi. Dulu menara kiri itu adalah loket kaartjes (karcis) penumpang sedangkan menara kanan untuk loket bagage (bagasi). Jendela-jendela kaca patri besar, dengan pola ornamen geometris, mempertegas gaya art deco stasiun itu. 

Sebenarnya ada yang bilang gaya arsitektur Stasiun Cirebon itu mengadopsi juga art nouveau, pendahulu art deco.  Barangkali jenang jendela dan pintu yang melengkung, setengah lingkaran, memberi kesan gelombang yang ajeg, adalah jejaknya. 

Klaim perpaduan art nouveau dan art deco itu masuk akal juga, sih. Soalnya Stasiun Cirebon Kejaksan itu kan dibangun tahun 1911-1912. Itu bertepatan masa peralihan dari gaya arsitektur art nouveau (1880-an sampai 1910-an) ke art deco (1910-an sampai 1930-an).

Apakah memang demikian, entahlah. Aku kan cuma lansia Batak, penumpang kereta yang terdampar di sana. Gak paham betullah aku soal arsitektur stasiun itu. 

Peron 1 Stasiun Cirebon Kejaksan, sore Rabu 30 Juli 2025. Gerai Yomart membberi aksen merah pada tembok putih gedung stasiun (Dokumentasi Pribadi)
Peron 1 Stasiun Cirebon Kejaksan, sore Rabu 30 Juli 2025. Gerai Yomart membberi aksen merah pada tembok putih gedung stasiun (Dokumentasi Pribadi)

Monumen Eksploitasi

Stasiun Cirebon Kejaksan itu sejatinya adalah unsur moda produksi kolonialisme yang dijalankan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Dia adalah bagian dari alat produksi kolonial untuk menguras sumberdaya alam pulau Jawa. Bukan untuk kepentingan rakyat Jawa, tapi untuk membangun negeri Belanda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Halo Lokal Selengkapnya
Lihat Halo Lokal Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun