Judul artikel di Kompasiana.com ini benar, walau tak lazim: "Artikel ke 7782 Khusus Untuk Ulang Tahun ke 82 Isteri Tercinta". Itu artikel yang dianggit dan diagihkan Pak Tjiptadinata tanggal 18 Juli 2025. Intensinya merayakan ulang tahun isteri tunggalnya tercinta, Bu Roselina.Â
Mereka adalah pasangan kakek-nenek tertua di Kompasiana. Â Semua kompasianer mereka sapa ananda atau cucunda.
Aku juga disapa Bu Lina "Ananda". Walau itu benar jika,dan hanya jika, Bu Lina dan Pak Tjip kawin lari saat kelas 3 SMA. Anehnya Pak Tjip menyapa diriku "Ko", kakak laki-laki. Jadi anak laki-laki Bu Lina adalah kakak laki-laki Pak Tjip. Bingung, kan?
Takmudah bagi seorang laki-laki untuk mencintai nenek-nenek, Â juga bagi seorang perempuan untuk mencintai kakek-kakek kecuali, ya, kecuali laki-laki itu seorang kakek dan perempuan itu seorang nenek yang sudah saling mencintai sejak SMA, menikah, dikaruniai anak, hidup miskin, berjuang, sukses, ditipu rekan, jatuh, bangkit lagi, sukses lagi, lalu hidup tenang dan damai di usia tua.Â
Terlalu panjangkah kalimat di atas? Oh, itu sungguh tak seujung rambut, bila dibanding panjangnya jalan cinta yang telah ditapaki Pak Tjip dan Bu Lina.Â
Apa rahasianya seorang laki-laki bisa konsisten mencintai seorang perempuan, bahkan sampai saat istrinya itu sudah uzur, mencapai usia 82 tahun (dan kelak seterusnya)? Pak Tjip telah berbaik hati membagikan rahasianya lewat sebuah puisi yang indah, sangat indah, terindah dari semua puisi yang petnah dianggit Pak Tjip -- mungkin tak sampai 5 puisi, sih.Â
Judul puisi itu sudah dikutipkan di atas. Tapi itu judul palsu. Judul sebenarnya ada di atas teks puisi: "Roselina, Cahaya yang Tak Pernah Padam".
Aku tak hendak menganalisis puisi itu. Itu urusan kompasianer Ayah Tuah. Aku hanya ingin mengatakan, isi puisi itu adalah rahasia cinta Pak Tjip kepada Bu Lina. [Kalau rahasia cints Bu Lina kepada Pak Tjip, entahlah, sebab Bu Lina kan gak pernah nulis puisi cinta.]
Izinkanlah aku mengutip dua bait saja:
"Ingatkah
saat kita berpelukan dalam keheningan rumah sakit,
antara hidup dan mati,
kau bisikkan:
"Aku tidak mungkin hidup tanpa dirimu..."
Sejak saat itu,
aku berjanji dalam diam:
"Aku akan hidup, bukan demi diriku---
tapi demi engkau yang telah menghidupkanku."
...
Lin
dirimu adalah nyala yang tak pernah padam,
lagu yang tak habis dinyanyikan,
rumah dalam setiap perjalanan pulang."