Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Burjer, Revolusi Celana, dan Atomisasi Industri Tenun di Tanah Batak

21 Maret 2023   12:57 Diperbarui: 21 Maret 2023   18:07 1487
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana pasar Kota Balige pada Jumat (6/11/2020). Pedagang dan pembeli mengenakan celana panjang (Foto: medan.tribunnews.com)

Dengan mengenakan celana panjang "burjer" perempuan Batak menjadi lebih trengginas dalam kerja. Tak ada lagi pembatasan gerak oleh rok atau sarung. Kerja perempuan menjadi lebih efisien, efektif, dan produktif dibanding sebelumnya.

Tak hanya mendukung produktivitas kerja, celana panjang juga membawa perempuan Batak pada tampilan baru yang lebih modis. Di antara tumpukan "burjer" itu banyak juga celana panjang dan atasan yang masih tampak baru, mulus, dan cantik. 

Maka kaum ibu Batak mulai tampil di ruang publik dengan paduan slack dan blouse yang modis. Ibu-ibu Batak kini lazim datang ke pertemuan-pertemuan non-adat dengan pakaian seperti itu. Hanya ke pesta adat dan gereja mereka masih tetap mengenakan kebaya dan sarung.

Bisa dikatakan "revolusi celana" adalah proses emansipasi perempuan Batak Toba. Celana panjang telah membuat mereka menjadi produktif dan mampu mengimbangi, bahkan melampaui, produktivitas kerja kaum laki.

Atomisasi Industri Tenun Sarung di Balige

Industri tekstil atau tenun Balige adalah yang pertama dan pernah menjadi yang terbesar di pulau Sumatera, sekurangnya dampai tahu 1970-an. 

Dengan produk utama sarung katun, disebut mandar Balige, industri berbasis ATBM dan kemudian ATM yang dibangun pemerintah kolonial Belanda pada pertengahan 1930-an itu mengalami kejayaannya tahun 1970-an. 

Jaya dalam ukuran jumlah (70-80 unit), skala (menengah dan besar), serapan tenaga kerja, dan omset pasar (seluruh Sumatera). Sehingga Balige sempat dijuluki "Majalaya Kedua" -- merujuk pusat industri tekstil di Bandung.

Boleh dikatakan, industri tenun Balige telah berjasa menyarungi orang Batak dan bahkan penduduk Sumatera Timur, khususnya keluarga buruh perkebunan. Pemerintah Kolonial Belanda dulu membangun industri tenun Balige memang sebagai langkah substitusi impor tektil, dalam rangka mengantisipasi dampak Depresi Besar 1930-an.

Tapi memasuki pertengahan 1980-an, industri tenun Balige mulai menunjukkan gejala deindustrialisasi berupa penurunan jumlah, penciutan skala, dan penurunan produksi dan omzet. 

Gejala itu berlangsung terus sehingga tahun 2018, merujuk buku statistik Balige Dalam Angka, jumlah industri tenun di Balige tinggal 12 unit. Skalanya juga semakin menciut menjadi usaha kecil/menengah dan bahkan mikro, skala rumahtangga.

Dapat disimpulkan, dan ini berdasar hasil riset saya di akhir 1990-an, industri tenun Balige sedang mengalami gejala atomisasi. Menciut dari skala besar yang kapitalistik menjadi skala rumahan yang sekadar komersil saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun