Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Terimakasih, Saudara Roy Suryo

20 Juni 2022   05:53 Diperbarui: 20 Juni 2022   16:32 2392
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Stupa Budha di candi Borobudur (Foto: De Spiegel via tribunnews.com)

Dalam suatu grup perpesanan pengulik karakter bangsa, seorang rekan membanding perilaku anak Inggris dan anak Indonesia.

Katanya, semisal anak Inggris tak sengaja menjatuhkan piring antik sampai ambyar, maka dia akan langsung bilang, "Sorry, my wrong."

Beda dengan anak Indonesia. Dalam situasi serupa akan bilang, "Piringnya licin." Atau dalih lain, ngeles, agar tak dipersalahkan.

Anak Inggris itu bertanggungjawab dan  itu priceless.  Orangtuanya jauh lebih menghargai itu ketimbang piring antik yang bisa dibeli lagi. 

Sebaliknya, anak Indonesia itu tak bertanggungjawab. Menimpakan kesalahan pada suatu hal lain di luar dirinya. Dan orangtuanya memaklumi hal itu.

Saat dewasa, kata rekan tadi, kedua anak itu sama-sama menjadi pejabat di  parlemen. Suatu ketika, Si Inggris itu ketahuan mengakses konten porno di komputer kantornya. Spontan dia mengakui kesalahannya dan mundur dari jabatannya.

Si Indonesia itu suatu ketika juga ketahuan mengakses konten porno di komputer kantor. Spontan dia menuduh stafnya sebagai pelaku dan langsung memecatnya.

Begitulah, kata rekan itu, karakter orang Indonesia dibentuk. Dari kecil dibiarkan tidak bertanggungjawab pada perbuatannya dan akibat yang ditimbulkan. Dibiarkan untuk berdalih, bahkan menimpakan kesalahan pada pihak lain yang lebih lemah.

Setelah dewasa dan bekerja entah di sektor publik atau privat, karakter lepas tanggungjawab itu sudah mendarah daging. 

Lihatlah, lanjut rekan tadi, begitu mudahnya pejabat pemerintah atau politisi di negeri ini mengkambing-hitamkan bawahan, atau pihak lain yang lemah, untuk menyelamatkan diri dari kesalahannya. 

Simpan dulu cerita dan hipotesa di atas dalam hati. Saya mau ceritakan kisah lain dari masa lalu.

***

Akhir 1960-an di Hutabolon (pseudonim) Tanah Batak, permainan marompera, lompat tali karet, sangat populer di kalangan anak perempuan.  

Permainan itu selalu dimainkan anak-anak perempuan SD Hutabolon saat jam istirahat. Anak-anak laki senang menontonnya. Bukan karena mengagumi ketrampilan lompat anak-anak perempuan. Tapi menunggu saat rok anak-anak perempuan itu tersibak dan terlihatlah warna kolornya.

Itu sebenarnya momen langka. Sebab, lazimnya, setinggi apapun anak-anak perempuan itu melompat, selalu ada cara untuk mencegah kolor terlihat. 

Suatu hari di tahun 1969  Poltak (pseudonim) dan kawan-kawannya, waktu itu masih kelas tiga SD, menonton anak-anak perempuan marompera.  Pucuk dicinta ulam tiba, sepandai-pandai tupai melompat suatu ketika jatuh juga. Rok seorang anak perempuan tersibak dan tampaklah sekilas warna merah kolornya.

Spontan teman-teman Poltak bernyanyi meledek: "Donna tarida kolorna, tingki marompera, ibereng bapakna." (Donna tampak kolornya, saat lompat tali karet, dilihat bapaknya.) Itu semacam tembang dolanan anak laki untuk menggodai anak perempuan waktu itu.

Karena berulang-kali dinyanyikan teman-temannya, Poltak merasa terprovokasi sehingga akhirnya ikut juga menyanyi dengan suara keras. Bahkan saat teman-temannya sudah diam, Poltak masih bernyanyi juga.

Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Tiba-tiba saja guru agama menghardik Poltak tepat di belakang kepalanya. Kata guru agama, itu nyanyian tak sopan.

Poltak berdalih bahwa teman-temannya yang lebih dulu bernyanyi. Tapi guru agama bilang suara Poltaklah yang didengarnya. Kalaupun teman-temannya yang memulai bernyanyi, menurut guru agama, Poltak harusnya melarang. Bukannya malah ikut nyanyi.

"Kamu kan ketua kelas, Poltak. Harusnya beri teladan bagus. Bukan malah ikut rusak," kata guru agama menasihati.  Poltak mati kutu.

Simpan dulu di benak cerita tentang Poltak itu. Berikut ada cerita aktual dan faktual.

***

Pada hari Jumat, 10 Juni 2022,  Roy Suryo, politisi Partai Demokrat dan mantan Menpora RI, mencuit di akun Twitter @KRMTRoySuryo2 begini: 

"Mumpung akhir pekan, ringan2 saja Twit-nya. Sejalan dgn Protes Rencana Kenaikan Harga Tiket naik ke Candi Borobudur (dari 50rb) ke 750rb yg (sdh sewarasnya) DITUNDA itu, Banyak Kreativitas Netizen mengubah Salah satu Stupa terbuka yg Ikonik di Borobudur itu, LUCU, he-3x (emotikon tertawa) AMBYAR."

Di bawah teks cuitan itu, Roy Suryo mengunggah dua foto salah satu stupa (rupang) Budha di Borobudur yang wajahnya telah diedit menjadi mirip wajah  Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Di atas salah satu foto (kanan), tercantum alamat akun pengunggah terdahulu, dan kalimat ini: 

“Di stupa candi borobudur ada patung dewa anyar."

Sementara pada foto satunya lagi (kiri) terulis ujaran ini: 

"Pantas saja tiketnya mahal ternyata opung sudah buat patung 'I Gede Utange Jokowi' untuk tambahan dana bangun IKN."

Apa yang hendak dikatakan Roy Suryo dengan teks cuitannya, dan pengunggahan ulang foto stupa Budha berwajah mirip Jokowi itu? Saya akan coba tafsirkan menggunakan metode interpretivisme -- lazim digunakan dalam riset antropologi dan sosiologi.

Perhatikan, cuitan Roy Suryo itu terdiri dari tiga kalimat:

  1. "Mumpung akhir pekan, ringan2 saja Twit-nya. Sejalan dgn Protes Rencana Kenaikan Harga Tiket naik ke Candi Borobudur (dari 50rb) ke 750rb yg (sdh sewarasnya) DITUNDA itu.
  2. Banyak Kreativitas Netizen mengubah Salah satu Stupa terbuka yg Ikonik di Borobudur itu.
  3. LUCU, he-3x (emotikon tertawa) AMBYAR."

Kalimat (1) itu adalah konteks untuk kalimat (2) yang menjadi pesan utama, dan kalimat (3) adalah penegasan persetujuan untuk kalimat (2). 

Jadi, Roy Suryo sejatinya tidak lagi mengkritik rencana pemerintah untuk menaikkan tiket naik ke candi Borobudur.  Sebab dia juga tahu rencana itu sudah ditunda (pada tanggal 8 Juni 2022). Karena itu no issue dengan rencana tersebut.  

Roy Suryo hanya menggunakan isu itu sebagai konteks untuk pesan "kreativitas netizen mengubah (wajah) salah satu stupa di Borobudur (menjadi mirip wajah Jokowi)". Pesan inilah yang disetujui oleh Roy Suryo, dengan menilainya "lucu" -- bukan "terwelu" seperti biasa dicuitkannya jika tak setuju.

Karena setuju, maka Roy Suryo mengunggah-lanjut foto "stupa Budha berwajah mirip Jokowi" itu di akun twitternya. Tidak ada satu katapun dari Roy yang mengkritik, apalagi mencela gambar itu sebagai sesuatu yang tak pantas. Jangan kata menilainya sebagai penghinaan pada Budha ataupun Jokowi.

Mengapa Roy Suryo setuju pada rekayasa foto "stupa  Budha berwajah mirip Jokowi"? Tak bisa lain karena Roy Suryo  memiliki kesamaan posisi sosio-politik (socio-political standing) dengan perekayasa foto itu.

Posisi sosio-politik yang saya maksud begini:

  1. Perekayasa/pengunggah foto itu pasti bukan seorang penganut agama Budha. Seorang penganut Budha tak akan merendahkan Nabinya dengan mengedit wajah stupa Budha menjadi mirip Jokowi, seorang manusia biasa. Bisa dikatakan perekayasa itu tak perduli, apalagi menaruh hormat, pada Nabi agama selain agamanya sendiri.  
  2. Perekayasa/pengunggah foto itu pasti bukan dari kelompok pendukung Jokowi, melainkan dari kelompok yang beroposisi, atau sekurangnya tak suka,  kepada pemerintahan Jokowi. Hanya seorang oposan yang tega menggelari Jokowi sebagai "I Gede Utange Jokowi" dan menyebut foto stupa Budha berwajah mirip Jokowi itu sebagai "patung dewa anyar" di Borobudur.
  3. Pengeditan wajah stupa Budha menjadi mirip Jokowi merupakan sindiran kepada Presiden Jokowi dan pendukungnya yang dinilai telah "mendewakan" Jokowi. "Pendewaan" semacam itu dianggap melegitimasi Jokowi mengambil keputusan-keputusan "luar biasa", seperti pemindahan IKN dan perubahan sistem tiket Borobudur itu.

Bisa disimpulkan,  "foto stupa Budha berwajah mirip Jokowi" itu memang mewakili perasaan dan pikiran oposisi Roy Suryo terhadap Jokowi dan pemerintahannya. Karena itu, bukannya mencela atau mengritiknya, dia malah mengunggah ulang foto sehingga menjadi semakin viral.  

Fokus Roy Suryo dalam cuitannya itu adalah Jokowi, "dewa anyar" itu,  bukan Budha. Jadi dia tak peduli pada kemungkinan pengunggahan ulang foto itu  meluaskan penistaan terhadap Nabi Budha. Dia  hanya akan perduli, dalam arti akan menggugat perekayasa foto, jika stupa Budha itu dibuat berwajah mirip, misalnya,  SBY.

***

Benar saja, unggahan-ulang foto stupa Budha berwajah mirip Jokowi oleh Roy Suryo langsung viral dan menuai banyak kecaman dari warganet. Itu audah bisa diduga, mengingat Roy tergolong "selebritas politik", mantan Menpora dan sosok kontroversial. Dia adalah politisi Partai Demokrat yang beroposisi pada pemerintahan Jokowi.

Banyak pihak kemudian menilai Roy Suryo telah menista nabi agama Budha, dan sekaligus menisra Jokowi. Belakangan, fokus tuduhan adalah penistaan Budha, sosok sekaligus simbol inti dalam iman Budha. Karena itu, Roy Suryo telah diadukan kepada pihak kepolisian.

Dihadapkan pada kecaman dan pengaduan itu, Roy Suryo langsung menghapus unggahannya, lalu memajukan dalih bahwa:

  1. Bukan dia (Roy Suryo) perekayasa dan pengunggah pertama foto itu. Sudah ada tiga akun pengunggah terdahulu sejak 7 Juni 2022. Roy mengaku hanya di-mention, lalu membalasnya dengan unggahan yang menjadi viral dan kontroversial itu.  
  2. Roy Suryo merasa telah menjadi korban provokasi para buzzer yang menuduhnya menyebar-luaskan foto stupa Budha untuk menghina Budha dan Jokowi sekaligus.
  3. Roy Suryo menilai unggahannya itu justru membantu polisi untuk mengungkap akun-akun perekayasa/pengunggah terdahulu foto tersebut, dan siap membantu sebagai saksi.

Pada titik inilah saya harus berterimakasih kepada Saudara Roy Suryo. 

Mengapa? Karena dengan kasus Roy Suryo saya telah mendapatkan bukti kuat yang mengukuhkan hipotesa rekan segrup perpesanan di awal tulisan ini -- yang tadinya saya ragukan.

Kata rekan itu, politisi Indonesia akan selalu berdalih dan menyalahkan pihak lain yang lemah, untuk menyelamatkan diri dari kesalahan yang diperbuatnya sendiri. Dia akan melepas tanggungjawab dan mengkambing-hitamkan orang lain. Begitu orang Indonesia dididik sejak kecil.

Dan benarlah demikian. Bukankah Roy Suryo cari selamat dengan mengkambing-hitamkan akun-akun pengunggah terdahulu foto itu dan para buzzer yang dituduhnya provokator?

Sungguh "menakjubkan", sikap Roy Suryo itu persis sama dengan sikap seorang anak jelas tiga SD bernama  Poltak tahun 1969 di pelosok Tanah Batak sana. Itu sikap seorang anak kecil 52 tahun yang lalu. 

Ya, 52 tahun lalu si kecil Poltak berdalih bukan dia yang pertama menyanyikan lagu ledekan "Donna Tarida Kolorna".  Teman-temannyalah yang menyanyikan lebih dulu, dan dia hanya ikut-ikutan.

Tapi guru agama si Poltak telah mengingatkan satu pelajaran, bahwa setiap orang harus menyadari status sosialnya lebuh dulu, untuk menilai dampak yang mungkin terjadi jika mengujarkan suatu hal yang sensitif. Kata orang Batak, "Jolo nidilat bibir asa nidok hata." Jilat bibir dulu sebelum berujar. Timbang dulu buruk-baiknya.

Si kecil Poltak dulu adalah ketua kelas, dan si dewasa Roy Suryo kini adalah tokoh politik. Keduanya tak menjilat bibir sebelum berujar. Kalau kamu bingung mencari istilah untuk melabel tindakan semacam itu, silahkan tanya kepada Rocky Gerung. (eFTe).  

 

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun