Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Humor Pilihan

Don Quixote de la Kompasiana

25 Agustus 2021   06:49 Diperbarui: 25 Agustus 2021   09:50 807
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Don Quixote de la Mancha (Foto: gramedia.com)

Di kancah politik Indonesia, di aras kelompok elit sosial-politik nasional, ada banyak "Don Quixote" bertualang.  Hal itu bisa disebut sebagai gejala sosial "(Don) Quixoteisme": mempersepsikan pihak lain sebagai musuh lalu menyerangnya. Orangnya bisa disebut "Quixoter".

Begitulah, di luar lingkaran kekuasaan, ada pasukan "Don Quixote de la Opositor" , mungkin hasil kloning idiologis. Mereka melihat Presiden Jokowi sebagai musuh berbahaya.  

Di mata mereka, Jokowi adalah "musuh" bersama. Dia adalah ancaman serius terhadap keselamatan bangsa dan negara. Juga ancaman terhadap kepentingan rakyat. Dan tentu saja, terutama, terhadap kepentingan mereka.

Karena itu para Quixoter de la Opositor itu secara spartan menyerang Jokowi dengan berbagai cara. Mulai dari ragam ujaran, pembangkangan, sampai unjukrasa.  Bagi mereka hanya ada satu target: Jokowi harus tumbang!

Sementara itu, di dalam lingkaran kekuasaan, ada pula pasukan "Don Quixote de la Regime", ksatria-ksatria pengabdi rejim. Mereka melihat kelompok  oposisi sebagai musuh yang mengancam kelangsungan kekuasan, bangsa, dan negara.

Bagi para Quixoter de la Regime, kaum oposan adalah  "musuh" bersama. Oposan harus ditekuk-taklukkan.  Melalui pertarungan opini di media massa, media sosial, dan ruang publik. Kalau perlu diberangus,  seperti halnya sejumlah mural kritik sosial dihapus.

Para Quixoter, entah itu de la Opositor atau de la Regime, kadang harus "membunuh" pihak yang dikhayalkan sebagai musuh. Membunuh karakternya, dengan pedang kata-kata fitnah, hoaks, ad hominem, dan ad Hitlerum.

***

 Di lapis rakyat kebanyakan, gejala "Quixoteisme" merebak juga. Sebagai dampak Quixoteisme di lapis elut sosial-politik. 

Indikasinya adalah "pembelahan massa" sewaktu masa Pilpres (2014 dan 2019) dan Pilgub Jakarta (2017).  Istilah pejoratif "cebong" (pendukung Jokowi/Ahok) dan "kampret/kadrun" (pendukung Prabowo/ Anies) adalah istilah-istilah yang mewakili fantasi satu pihak terhadap pihak lain yang dipersepsikan sebagai "musuh".

Gejala  Quixoteisme itu terdeteksi dengan jelas di ragam flatform medsos. Antara lain di blog sosial Kompasiana. Di blog ini hadir para Don Quixote de la Kompasiana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun