Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Humor Pilihan

Don Quixote de la Kompasiana

25 Agustus 2021   06:49 Diperbarui: 25 Agustus 2021   09:50 807
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Don Quixote de la Mancha (Foto: gramedia.com)

Dengan segala maaf kepada Miguel de Cervantes, sastrawan Spanyol, karena saya telah mengubah tokoh rekaannya, Don Quixote de la Mancha, menjadi Don Quixote de la Kompasiana. Hal itu terpaksa saya lakukan untuk menggambarkan seorang Kompasianer yang merasa dirinya seorang ksatria penumpas kejahatan.  

Cervantes  menerbitkan novelnya, El ingenioso hidalgo don Quixote de la Mancha, dalam dua volume tahun 1605 dan 1615.  Abdul Muis menerjemahkan novel itu ke Bahasa Indonesia dengan judul Don Kisot de la Mancha  (Penerbit Balai Pustaka, 1949). Terjemahan Abdul Muis inilah yang  saya baca tahun 1975 di perpustakaan suatu sekolah calon pastor di Siantar.

"Somewhere in La Mancha, in a place whose name I do not care to remember…"[1] Cervantes mengawali kisahnya. Alonso Quixano, seorang bangsawan Spanyol menderita "keracunan otak".  Lantaran over-dosis membaca dongeng-dongeng ksatria. Dia tak mampu lagi membedakan fantasi dan realita, fiksi dan fakta.

Puncaknya, Alonso merasa dirinya adalah  Don Quixote de la Mancha, seorang ksatria yang  punya tugas mulia untuk membasmi kejahatan yang mengancam keselamatan negeri. Menunggang kuda kurus bernama Rocinante, dan dikawal Sancho Panza, Don Quixote kemudian menjelajahi pedesaan Eropa untuk menumpas para penjahat.

Betullah.  Dalam petualangannya, Don Quixote bertarung dengan para raksasa yang akan mengganggu warga desa.  Faktanya, apa yang dilihatnya sebagai raksasa itu hanyalah bangunan kincir angin.

Don Quixote juga bertempur dengan sepasukan serdadu yang akan menyerang desa.  Faktanya, itu bukan serdadu, melainkan kawanan biri-biri.

Dia juga bersua lalu menyerang seorang ksatria lain dan berhasil merebut helm perunggu miliknya.  Faktanya, dia menyerang seorang tukang pangkas rambut yang mengenakan baskom sebagai pelindung kepala.

Itulah sebagian dari petualangan konyol Don Quixote, seorang ksatria dalam khayalnya.  Dia menciptakan musuh-musuh fiktif dalam fantasinya.  Lalu dia memerangi musuh jahat itu, sebab  seorang ksatria wajib melindungi rakyat dari petaka  dan kehancuran.    

***

Don Quixote itu khayal.  Tapi dia ada di sini dan kini.  Dia adalah fantasi yang berakar pada realita.  Fiksi yang berangkat dari fakta. Karena itu hadirnya terlacak pada realitas sosial.

Di kancah politik Indonesia, di aras kelompok elit sosial-politik nasional, ada banyak "Don Quixote" bertualang.  Hal itu bisa disebut sebagai gejala sosial "(Don) Quixoteisme": mempersepsikan pihak lain sebagai musuh lalu menyerangnya. Orangnya bisa disebut "Quixoter".

Begitulah, di luar lingkaran kekuasaan, ada pasukan "Don Quixote de la Opositor" , mungkin hasil kloning idiologis. Mereka melihat Presiden Jokowi sebagai musuh berbahaya.  

Di mata mereka, Jokowi adalah "musuh" bersama. Dia adalah ancaman serius terhadap keselamatan bangsa dan negara. Juga ancaman terhadap kepentingan rakyat. Dan tentu saja, terutama, terhadap kepentingan mereka.

Karena itu para Quixoter de la Opositor itu secara spartan menyerang Jokowi dengan berbagai cara. Mulai dari ragam ujaran, pembangkangan, sampai unjukrasa.  Bagi mereka hanya ada satu target: Jokowi harus tumbang!

Sementara itu, di dalam lingkaran kekuasaan, ada pula pasukan "Don Quixote de la Regime", ksatria-ksatria pengabdi rejim. Mereka melihat kelompok  oposisi sebagai musuh yang mengancam kelangsungan kekuasan, bangsa, dan negara.

Bagi para Quixoter de la Regime, kaum oposan adalah  "musuh" bersama. Oposan harus ditekuk-taklukkan.  Melalui pertarungan opini di media massa, media sosial, dan ruang publik. Kalau perlu diberangus,  seperti halnya sejumlah mural kritik sosial dihapus.

Para Quixoter, entah itu de la Opositor atau de la Regime, kadang harus "membunuh" pihak yang dikhayalkan sebagai musuh. Membunuh karakternya, dengan pedang kata-kata fitnah, hoaks, ad hominem, dan ad Hitlerum.

***

 Di lapis rakyat kebanyakan, gejala "Quixoteisme" merebak juga. Sebagai dampak Quixoteisme di lapis elut sosial-politik. 

Indikasinya adalah "pembelahan massa" sewaktu masa Pilpres (2014 dan 2019) dan Pilgub Jakarta (2017).  Istilah pejoratif "cebong" (pendukung Jokowi/Ahok) dan "kampret/kadrun" (pendukung Prabowo/ Anies) adalah istilah-istilah yang mewakili fantasi satu pihak terhadap pihak lain yang dipersepsikan sebagai "musuh".

Gejala  Quixoteisme itu terdeteksi dengan jelas di ragam flatform medsos. Antara lain di blog sosial Kompasiana. Di blog ini hadir para Don Quixote de la Kompasiana.

Gejala itu kentara saat Pilpres 2014 dan 2015. Ada dua kubu yang saling serang dengan pedang kata-kata yang tajam menghunjam lawan. Lewat senjata artikel, Quixoter Jokowi saling  serang Quixoter Prabowo. 

Begitu pula saat Pilgub Jakarta 2017. Quixoter Ahok saling serang dengan Quixoter Anies. Saling hunjam pedang kata-kata tajam, kadang membunuh karakter "musuh". 

Tapi Quixoteisme di Kompasiana tidak hanya teramati di saat kontestasi politik perebutan kekuasasn. Dalam hari-hari biasa, gejala itu terjadi juga. 

Terakhir, misalnya, ada semacam "pertarungan" antara dua kubu  Don Quixote de la Kompasiana. Sederhananya, antara Quixoter Pramillenial dan  Quixoter Millenial. 

Quixoter Pramilenial merasa eksistensinya terancam oleh kehadiran Kompasianer Millenial yang menguasai wilayah Kompasiana dengan artikel-artikel politip (ragam tip dan cara) dan "manganime" (manga dan anime). Lalu timbullah resistensi berupa pertanyaan mutu artikel anggitan para millenial itu.

Sebaliknya, Quixoter Millenial menilai artikel-artikel Kompasianer Pramillenial ketinggalan zaman. Tak sesuai lagi dengan selera zaman yang kini semakin praktis dan pragmatis. Pramillenial dengan segala analisis dan petuah kunonya, baiklah jika menepi. 

Tapi apakah semua itu realita atau fakta? Jawaban saya tegas: bukan realita atau fakta, tapi fantasi atau fiksi. Kompasianer Millenial. bukanlah ancaman bagi Pramillenial. Sebaliknya Kompasianer Pramilenial juga bukan penghambat bagi kemajuan Millenial.

Dunia modern dicirikan pembagian kerja yang semakin kompleks.  Begitupun di dunia modern Kompasiana. Ada pembagian kerja antara Pramillenial dan Millenial. Sebagaimana tercermin pada perbedaan pilihan isu, topik, diksi, dan gaya bahasa pada artijel mereka. Itulah sejuta puspa mekar di taman literasi Kompasiana.

Tapi, apakah itu berarti kehadiran Don Quixote de la Kompasiana tidak dibutuhkan? Karena dia tak lebih dari tukang khayal tua yang termakan fantasinya sendiri, seperti halnya Don Quixote de la Mancha ? 

Tidak. Don Quixote de la Kompasiana tetap dibutuhkan. Dia perlu hadir  untuk menggugat kemapanan yang malas, membuka ruang imajinasi, dan membuka kemungkinan-kemungkinan lain yang tak terpikirkan sebelumnya. Sekurangnya, dengan segala khayal kenthirnya, dia diperlukan untuk membuka ruang tawa, sesempit apa pun itu.

Untuk itulah, Si Tua penulis artikel ini masih tetap bertahan di Kompasiana. (eFTe)

 

[1]  Kalimat pembuka dalam edisi Bahasa Inggris novel Don Quixote karangan Cervantes.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun